Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Mendidik adalah sesuatu yang tak bisa lepas dari kehidupan
manusia. Apapun profesinya, apapun keahliannya, mendidik menjadi suatu
kebutuhan dasar manusia. Minimal adalah mendidik dirinya sendiri. Dengan
harapan, semakin berjalannya waktu, semakin bertambah pula kualitas seseorang.
Sebagai manusia biasa, tak ada yang terlahir sempurna. Allah dalam kitab
suci-Nya telah menginformasikan bahwa manusia selain membawa potensi kebaikan,
juga mempunyai sisi kekurangan. Selama manusia masih bernafas, selama itu pula
kewajiban untuk memperbaiki diri terus Ia pikulkan. Bukan karena Allah kejam,
justru karena Allah begitu sayang kepada hamba-Nya. Allah ingin melihat
seberapa gigih dan tekunnya kita sebagai manusia dalam berusaha, berjuang dan
berdoa demi memperbaiki diri dan memperindah akhlak. Allah Maha Melihat Maha
Penyayang.
Karena
kehidupan manusia tidak bisa lepas dari proses mendidik, ada hal penting yang
ingin penulis sampaikan bahwa mendidik ibarat sedang “membentuk” atau
“mengubah” atau “memproses” dari yang tadinya kurang baik atau kurang
bermanfaat, menjadi baik, bermanfaat, indah dan sebagainya. Renungkanlah
sejenak bahwa hampir semua yang namanya “membentuk, mengubah, atau memproses”
itu membutuhkan waktu, tempaan, dan rasa yang tidak menyenangkan. Sebagai
contoh, proses dari tanah liat menjadi keramik, dari sebulir pasir menjadi
mutiara, dan dari ulat menjadi kupu-kupu. Memang tak mudah untuk menerima
kenyataan itu semua, apalagi kita hidup di zaman modern dimana budaya serba
instan dan faham hedonisme sudah merambah dan mulai mengancam kehidupan
manusia.
Berbahagia
sekali apabila kita mampu mengemas proses mendidik dengan sesuatu yang
menyenangkan. Ibarat obat, obat itu dilapisi dengan sesuatu yang rasanya enak.
Atau obat yang telah dicampur dengan sesuatu sehingga rasanya tidak lagi
menjadi pahit tetapi menjadi manis atau rasa buah dan sebagainya. Walaupun
rasanya sudah berubah, namun didalamnya tetap masih ada obat yang sebenarnya
berasa pahit. Andaikan tidak mampu membuat obat yang rasanya enak, jangan
sampai “obatnya dibuang, diganti dengan sesuatu yang rasanya enak”. Karena jika
dimakan bukan kesembuhan yang didapat. Bukankah tujuan meminum obat adalah
sebagai lantaran untuk memperoleh kesembuhan! Rasa bagi sebagian orang
(khususnya anak-anak) memang penting, tetapi bukan itu tujuannya.
Sebagai
pendidik (minimal pendidik untuk dirinya), teruslah belajar dan ingatlah bahwa
“menjadi baik dan bermanfaat” itu butuh perjuangan yang tak singkat dan tak
mudah. Maka berusahalah untuk membalut rasa yang tidak menyenangkan menjadi
sesuatu yang terasa menyenangkan, misalkan selalu memunculkan rasa syukur,
mencari strategi, metode ataupun trik dalam mendidik agar terasa lebih
menyenangkan, atau mencari sisi-sisi yang menyenangkan. Apabila saat ini kita
belum mampu menemukan itu semua, jangan berhenti. Terus lakukanlah walaupun
masih terasa pahit. Karena “manis atau pahit nya perjuangan” itu sebenarnya
bukanlah tujuan. Tujuannya adalah “kesembuhan, kebaikan, keindahan”, yang pada
akhirnya mendatangkan keridoan Allah, Tuhan semesta alam.
Wallohu a’lam.