Minggu, 26 Mei 2019

MENDIDIK


Bismillaahirrohmaanirrohiim.

Mendidik adalah sesuatu yang tak bisa lepas dari kehidupan manusia. Apapun profesinya, apapun keahliannya, mendidik menjadi suatu kebutuhan dasar manusia. Minimal adalah mendidik dirinya sendiri. Dengan harapan, semakin berjalannya waktu, semakin bertambah pula kualitas seseorang. Sebagai manusia biasa, tak ada yang terlahir sempurna. Allah dalam kitab suci-Nya telah menginformasikan bahwa manusia selain membawa potensi kebaikan, juga mempunyai sisi kekurangan. Selama manusia masih bernafas, selama itu pula kewajiban untuk memperbaiki diri terus Ia pikulkan. Bukan karena Allah kejam, justru karena Allah begitu sayang kepada hamba-Nya. Allah ingin melihat seberapa gigih dan tekunnya kita sebagai manusia dalam berusaha, berjuang dan berdoa demi memperbaiki diri dan memperindah akhlak. Allah Maha Melihat Maha Penyayang.
            
Karena kehidupan manusia tidak bisa lepas dari proses mendidik, ada hal penting yang ingin penulis sampaikan bahwa mendidik ibarat sedang “membentuk” atau “mengubah” atau “memproses” dari yang tadinya kurang baik atau kurang bermanfaat, menjadi baik, bermanfaat, indah dan sebagainya. Renungkanlah sejenak bahwa hampir semua yang namanya “membentuk, mengubah, atau memproses” itu membutuhkan waktu, tempaan, dan rasa yang tidak menyenangkan. Sebagai contoh, proses dari tanah liat menjadi keramik, dari sebulir pasir menjadi mutiara, dan dari ulat menjadi kupu-kupu. Memang tak mudah untuk menerima kenyataan itu semua, apalagi kita hidup di zaman modern dimana budaya serba instan dan faham hedonisme sudah merambah dan mulai mengancam kehidupan manusia.
            
Berbahagia sekali apabila kita mampu mengemas proses mendidik dengan sesuatu yang menyenangkan. Ibarat obat, obat itu dilapisi dengan sesuatu yang rasanya enak. Atau obat yang telah dicampur dengan sesuatu sehingga rasanya tidak lagi menjadi pahit tetapi menjadi manis atau rasa buah dan sebagainya. Walaupun rasanya sudah berubah, namun didalamnya tetap masih ada obat yang sebenarnya berasa pahit. Andaikan tidak mampu membuat obat yang rasanya enak, jangan sampai “obatnya dibuang, diganti dengan sesuatu yang rasanya enak”. Karena jika dimakan bukan kesembuhan yang didapat. Bukankah tujuan meminum obat adalah sebagai lantaran untuk memperoleh kesembuhan! Rasa bagi sebagian orang (khususnya anak-anak) memang penting, tetapi bukan itu tujuannya.
            
Sebagai pendidik (minimal pendidik untuk dirinya), teruslah belajar dan ingatlah bahwa “menjadi baik dan bermanfaat” itu butuh perjuangan yang tak singkat dan tak mudah. Maka berusahalah untuk membalut rasa yang tidak menyenangkan menjadi sesuatu yang terasa menyenangkan, misalkan selalu memunculkan rasa syukur, mencari strategi, metode ataupun trik dalam mendidik agar terasa lebih menyenangkan, atau mencari sisi-sisi yang menyenangkan. Apabila saat ini kita belum mampu menemukan itu semua, jangan berhenti. Terus lakukanlah walaupun masih terasa pahit. Karena “manis atau pahit nya perjuangan” itu sebenarnya bukanlah tujuan. Tujuannya adalah “kesembuhan, kebaikan, keindahan”, yang pada akhirnya mendatangkan keridoan Allah, Tuhan semesta alam.

Wallohu a’lam.

Jumat, 24 Mei 2019

TANGAN YANG TERUS TERBUKA


Bismillahirrohmaanirrohiim. 

Manusia hidup, tak bisa melepaskan diri dari kebaikan-kebaikan orang lain. Melalui tangan-tangan maanusialah Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang mencurahkan nikmat-Nya. Setiap hari, bahkkan setiap detik detak jantung berada dalam kasih sayang-Nya. Dalam kehidupan manusia, ada sosok yang sangat berharga yang mestinya singgah kokoh dalam relung hati yang terdalam. Melalui sikapnya, lisannya dan tangannya Allah telah mengalirkan secercah cahaya kepada kita. Dia adalah guru-guru kita.

Serendah apapun diri kita, pasti kita memiliki guru. Guru yang telah mengajarkan kebaikan dan kemuliaan. Guru yang terus peduli dengan anak didiknya atau santrinya dengan caranya masing-masing. Mereka ingin kita menjadi orang yang selamat. Mereka ingin melihat kita hidup bahagia, tak hanya di dunia namun di akhirat. Namun, lihatlah diri kita, Sudahkah kita melaksanakan nasihat-nasihatnya! Atau bahkan kita telah “mengabaikan petuahnya”!

Ingatlah, tak ada tangan guru yang tertutup untuk menerima kepulangan si murid yang telah bersalah. “Tangannya” begitu lembut untuk menerima muridnya kembali dalam kebenaran. “Tatapan” matanya pun selalu teduh untuk menyambut kepulangan kita sebagai murid, yang telah  lama meninggalkan nasihatnya. Jangan ragu untuk mendekatinya, meski “tangan “ ini kotor. Beliau akan menggenggam “tangan” kita, menuntun dan mendoakan dalam heningnya. Terimakasih guruku.

Wallohu a’lam.