Senin, 08 Januari 2018

JURUS AMPUH MENJADI ORANG BAIK




Bismillahirrohmaanirrohiim,

Apabila mendengar kata “jurus”, yang muncul dalam benak kita kurang lebih adalah tentang sesuatu yang hebat, luar biasa dan bisa menjadikan seseorang  “sakti mandraguna”. Dengan jurus yang hebat pula, seseorang bisa mengalahkan musuh-musuhnya dan bisa menjadi sosok yang dikenal oleh banyak orang. Lalu yang ingin penulis tanyakan, untuk mendapatkan itu semua apakah seseorang hanya cukup berleha-leha saja tanpa mau berusaha, belajar dan berlatih? Adakah perjuangan, pengorbanan dan rasa sakit yang harus ia terima agar mampu menguasainya?

Tulisan ini akan sedikit memberi gambaran umum tentang satu hal yang seharusnya setiap manusia itu mampu menguasainya, sehingga ia menjadi orang yang baik, khususnya dalam berhablum minannas (berhubungan dengan sesama manusia). Satu hal penting itu penulis istilahkan dengan “jurus ampuh”, agar pembaca lebih mudah dalam mengingat dan memahaminya.

Jurus ini sangat sederhana sekali, prinsipnya adalah “Jika dipukul sakit, maka jangan memukul”. Coba resapi dan renungkan prinsip tersebut. Semakin dalam kita memahaminya, maka akan semakin mudah dalam mengaplikasikannya.  Prinsip ini menurut orang jawa, diistilahkan dengan “tepak ngawak”. Yaitu berusaha memposisikan diri orang lain, seperti diri kita sendiri.

Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang sama. Setiap manusia ingin selamat, ingin bahagia, ingin diterima dan diakui keberadaannya, ingin disayang, ingin diperlakukan baik dan sebagainya. Begitu pula sebaliknya, setiap manusia tidak ingin celaka, tidak ingin sengsara, tidak ingin diabaikan, tidak ingin disakiti, dan tidak ingin diperlakukan kasar. Apabila kita sudah memahami itu semua, maka akan muncul dalam fikiran bahwa “semua orang pada dasarnya adalah sama”. Karena orang maka ingin diorangkan, karena manusia maka ingin dimanusiakan, tentunya sesuai dengan batasan-batasan yang diridoi oleh-Nya.

Setelah muncul pemahaman tersebut, selanjutnya diri kita akan terdorong untuk menekan sisi ego yang ada dalam diri. Sisi ego atau “keakuan” yang selama ini tumbuh subur tanpa kendali membuat banyak orang disekitar kita terabaikan karenanya. Terlalu besarnya ego telah membutakan mata hati untuk bisa melihat ke dalam, dan ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Sehingga banyak hal penting luput dari pandangan dan kepedulian kita. Kita cenderung terlalu asik dan sibuk dengan urusan-urusan pribadi tanpa mau mengorbankan sebagian hidup kita untuk orang lain. Sungguh betapa egoisnya kita.

Kemudian setelah kita mampu mengendalikan ego, yang perlu dimunculkan selanjutnya adalah kemampuan untuk bisa memilah dan memilih serta menentukan apa yang harus dilakukan terhadap orang lain, baik dari segi hati / prasangka, ucapan dan juga tindakan. Sehingga apa yang ada di hati, fikiran, lisan dan perbuatan kita sesuai dengan tugas manusia sebagai “khalifatullah fil ard” yaitu wakil Allah di muka bumi.

“Jika orang lain sebagai kata, maka jadikan diri kita untuk mengeja”
Sehingga antara tulisan dan ucapan akan selaras dan sejalan.

Wallohu a’lam

KEWIBAWAAN


Bismillahirrohmaanirrohiim,

Kewibawaan datang dari jiwa yang bersih, bukan dari hati yang seperti buih
Kewibawaan bukanlah keangkuhan, melainkan keteduhan
Kewibawaan bukan dari omongan, melainkan dari keteladanan
Kewibawaan bukanlah keinginan, melainkan cerminan
Kewibawaan bukan rasa takut, melainkan rasa yg tertaut
Kewibawaan bukanlah pujian, melainkan keikhlasan
Kewibawaan bukan mengkerdilkan, melainkan mengorangkan

Wallohu a’lam


Selasa, 02 Januari 2018

IMAGE


 Bismillahirrohmaanirrohiim,

Manusia adalah makhluk yang Allah ciptakan dengan sebaik-baik bentuk. Manusia juga dinobatkan sebagai “khalifatullah fil ard” atau wakil Allah di muka bumi. Allah juga telah mengkaruniani hati dan pikiran yang di dalamnya memuat nurani dan potensi yang sangat luar biasa. Jadi sangat tidak masuk akal apabila Allah menciptakan manusia tanpa adanya tujuan penciptaan. Hal yang kita anggap sederhana atau sepele saja ada tujuan penciptaannya, apalagi manusia.

Sebagai seorang muslim, tentu sudah memahami bahwa tujuan Allah menciptakan manusia tidak lain adalah untuk beribadah atau mengabdi kepada-Nya. Ibadah dalam artian yang luas, yaitu segala aktifitas, bisa berupa hati, ucapan maupun perbuatan yang dilakukan dengan niat untuk mencari rido Allah.

Manusia dengan segala aktifitasnya, penulis gambarkan layaknya sebuah benda tiga dimensi, yang mana benda tersebut bisa dilihat dari berbagai sisi. Namun jika dikelompokan secara umum, ada dua subjek pandang besar. Yang pertama, pandangan dari Sang Pencipta. Kemudian yang kedua, pandangan dari sesama manusia. Hal ini kadang kurang diperhatikan oleh manusia, padahal merupakan sesuatu yang sangat mendasar.

Jika dikaitkan dengan tujuan penciptaan manusia. Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, tetapi mengapa banyak manusia yang “beribadah” kepada sesama manusia? Ia dipantau dan diawasi oleh Allah, tetapi mengapa banyak manusia yang hanya takut kalau dipantau dan diawasi oleh manusia? Allah menilai pengabdian hamba-Nya, tetapi mengapa banyak manusia yang menganggap penilaian yang haq itu dari sesama manusia?

Beberapa pertanyaan di atas bisa sebagai bahan refleksi diri. Apakah kita termasuk orang yang orientasinya pandangan Allah atau pandangan sesama? Ini persoalan niat, persoalan yang sangat penting. Bahkan bisa dikatakan bahwa niat adalah ruhnya amal. Jika salah dalam niat, bisa berakibat fatal. Perjuangan, jerih payah, ataupun pengorbanan yang kita curhkan bisa kosong tanpa makna, dan yang didapat hanya “tepuk tangan” dari sesama. Naudubillah …

Pandangan baik dari sesama memang dibutuhkan, tapi bukan menjadi tujuan.
Biarlah kejernihan hati dan perbuatan yang akan memantulkan kemuliaan.

Wallohu a’lam.