Minggu, 16 Oktober 2016

ANDAI KARAKTER DIPERLOMBAKAN

Bismilahirohmanirohim,
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita menyaksikan sebuah pertandingan atau perlombaan, baik di acara televisi maupun melihatnya secara langsung. Bagi mereka yang mengikuti perlombaan pasti menginginkan kemenangan, sehingga rela berlatih dengan tekun dan giat. Tidak hanya itu, mereka juga rela mengorbankan banyak uang dan juga waktu asalkan kemenangan mampu ia raih. Biasanya seseorang yang menjadi pemenang akan mendapatkan hadiah, namun ada satu hal lagi yang tidak kalah berharganya yaitu ia mamperoleh nama baik atau harga dirinya terangkat.
Satu tanda tanya besar yang ada dalam pikiran saya, manakala melihat sebuah perlombaan. Mengapa karakter atau akhlak tidak dilombakan? Kedengarannya mungkin aneh, tetapi ada yang perlu kita pahami bersama.
Karakter atau akhlak merupakan sesuatu yang sangat penting dan pokok dalam kehidupan manusia, semuanya pasti sepakat akan hal itu. Akan tetapi dalam praktiknya, banyak dari kita yang belum bersemangat untuk memperoleh akhlak yang baik. Apakah kita akan bersemangat jika hanya sedang mengikuti perlombaan saja? Coba tanyakan dalam diri kita masing-masing.
Apabila kita belajar agama, sebenarnya di dalam Islam juga ada perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan atau fastabiqul khairaat. Namun banyak yang kurang menyadarinya. Setiap saat tingkah laku kita ditulis oleh 2 malaikat dan disaksikan Allah swt. Apakah kita tidak malu sama Allah dan malaikat-Nya? Kita ini sedang lomba dan dinilai di hadapannya, tetapi yang kita lakukan asal-asalan, tidak bersemangat, bahkan sengaja melakukan kesalahan. Bukannkah dalam perlombaan kita menginginkan kemenangan, dan kemenangan bisa kita peroleh dengan usaha keras, penuh semangat, dan tidak banyak melakukan kesalahan.
Dari tulisan sedikit ini, semoga mamppu mengingatkan diri kita bahwa kita sebenarnya sedang berlomba. Berlomba untuk menjadi manusia yang baik, bermanfaat dan mendapatkan rido dari-Nya.
Wallohu a’lam,

Kamis, 13 Oktober 2016

SUDUT PANDANG

Bismillahirrohmanirrohim,
Kehidupan di dunia ini sungguh beraneka ragam. Begitu juga dengan benda-benda yang ada di dalamnya. Keberagaman itu bisa dilihat dari segi bentuk, warna, isi, kegunaan dan sebagainya. Apabila kita melihat satu benda saja, sebenarnya banyak hal yang bisa kita pelajari darinya. Salah satunya berkaitan dengan sudut pandang.
Sebagai contoh, kita melihat sebuah televisi. Apa-apa yang kita lihat dari sisi depan akan berbeda dengan apa yang kita lihat dari sisi belakang, samping, atas, dalam, ataupun bawah. Padahal yang kita lihat adalah televisi yang sama, hanya saja arah atau sudut pandang kita saja yang berbeda.
Jika kita bawa dalam konteks kehidupan, sudut pandang pun akan tetap ada. Hanya saja dalam memandang lebih menggunakan ilmu dari pada panca indra mata. Misalkan ada suatu permasalahan, maka permasalahan tersebut bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, seperti sudut pandang agama, sosial, budaya, politik dan sebagainya.
Karena sudut pandang yang berbeda-beda, maka sangat memungkinkan terjadinya perbedaan hasil dari apa yang dilihatnya. Perbedaan itu bisa digunakan sebagai bahan perbandingan, pertimbangan ataupun pelangkap. Dari perbedaan tersebut, sebenarnya telah mendidik kita untuk bersikap bijak dan berpandangan luas. Selain itu, kita juga didik untuk bisa memahhami dan menghargai orang lain.
Bagi umat muslim khususnya, hendaknya menggunakan sudut pandang agama sebagai prioritas ia dalam memandang segala sesuatu. Karena agama merupakan pedoman umat muslim dalam mengarungi setiap lika-liku kehidupan di dunia ini.
Wallahu a’lam,

LEBAH

Bismillahirrohmanirrohim,
Suatu ketika tanpa disengaja saya mendenganr ceramah dari Alm. KH. Zainuddin MZ di siaran radio pagi hari. Yang dibahas waktu itu adalah yang berekaitan dengan lebah. Saya jadi penasaran, memangnya ada apa dengan binatang yang bisa menyengat itu? Saya duduk menghentikan aktivitas saya sejenak sambil memperhatikan apa yang disampaikan oleh Kyai yang sangat luar biasa tersebut. Dari yang disampaikan oleh beliau, kurang lebih ada 3 hal penting yang bisa kita ampil pelajaran dan hikmahnya dari binatang lebah.
Pelajaran pertama, yang dimakan oleh lebah adalah sesuatu yang baik. Lebah tidak mungkin makan makanan yang kotor atau sesuatu yang menjijikan. Sebagai manusia, kita harus berusaha selektif terhadap apa –apa yang akan dimasukkan ke dalam tubuh kita. Tidak hanya makanan dan minuman saja yang harus halal dan juga baik, tetapi juga ilmu yang kita pelajari hendaknya ilmu yang baik, ketrampilan yang baik, pengalaman yang baik, prinsip hidup yang baik, dan sebagainya.
Kemudian pelajaran yang kedua, sesuatu yang dikeluarkan oleh lebah adalah sesuatu yang baik. Lebah menghasilkan madu, yang mana ia mempunyai banyak sekali manfaat khususnya untuk kesehatan. Manusia selain harus memasukkan hal-hal yang baik, juga harus berusaha mengeluarkan hal-hal yang baik pula. Manusia memang tidak bisa mengeluarkan madu, tetapi manusia bisa mengeluarkan kata-kata atau ucapan yang baik, tingkah laku yang baik dan juga perangai yang baik. Jika yang kita keluarkan sudah baik, insyaallah akan memberi banyak manfaat untuk diri sendiri dan juga untuk orang lain.
Kemudain pelajaran yang ketiga, lebah walaupun mempunya sengat, ia tidak mau mengganggu siapapun. Tetapi apabila keberadaaanya diganggu atau diusik maka ia akan mempertahankan dirinya. Sebagai manusai khususnya umat muslim, kita tidak boleh mengganggu orang lain atau makhluk lain. Karena keberadaan kita adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Akan tetapi kita juga mempunya harga diri, yang mana itu adalah sesuatu yang sangat berharga dan tidak boleh diinjak-injak oleh siapapun.
Tiga pelajaran diatas perlu kita renungkan, dan berusaha untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian ada satu pelajaran lagi yang menurut saya sesuatu yang luar biasa yang dimiliki oleh lebah. Lebah itu adalah hewan yang sangat teliti, khusunya dalam membuat rumahnya. Lubang-lubang yang ada pada rumahnya semuanya berbentuk segi enam. Yang mana antara lubang satu dengan yang lainnya memiliki ukuran yang sama persis. Menurut penelitian juga menyebutkan bahwa lubang-lubang tersebut berbentuk segi enam itu karena bentuk yang paling efektif untuk menghemat bahan yang digunakan dan juga agar tidak ada space yang kosong. Sehingga tidak ada celah sedikitpun yang tidak terpakai.
Wallohu a’lam

Selasa, 11 Oktober 2016

RENUNGKANLAH

Bismillahirrohmanirrohim,
Kehidupan manusia itu bagai roda yang berputar. Kadang ia di atas dan kadang di bawah. Semua itu adalah sebuah keniscayaan bagi setiap manusia. Tak pandang orang berpangkat, orang berharta, atau hanya manusia biasa. Semuanya pasti pernah mengalami yang namanya kebahagiaan dan kesediahan.
Hal yang menurut saya aneh, sesuatu yang setiap saat menimpa manusia, semestinya kita sudah ahli dan mahir untuk menghadapinya. Ibarat naik sepeda, kita sudah sering melalui berbagai medan, seperti tanjakan, turunan, jalan yang licin, jalan yang berkerikil dan sebagainya. Rintangan itu semua pasti kita sudah lihai betul menghadapinya. Dalam keadaan normal, misal ketika diturunan, tidak mungkin kita mengayuh sepeda kita. Begitu juga ketika di tanjakan, kita juga tidak akan mengeremnya.
Lalu mengapa kita masih saja belum mahir menghadapai lika-liku rintangan dan naik turunnya kehidupan? Apakah dari kecil sampai sekarang masih kurang waktu untuk kita belajar dan memahami itu semua? Bukankah setiap hari kita telah dididik dalam kehidupan ini? Maka renungkanlah!....
Wallohu a’lam,

Senin, 10 Oktober 2016

ANTARA KEIKHLASAN DAN TAHU TERIMAKASIH

Bismillahirrohmanirrohim,
Siapa sih yang ga pernah memberi, atau menerima? Semua orang pasti pernah mengalaminya. Seperti apa rasanya memberi dan seperti apa rasanya menerima atau diberi? Dua hal tersebut merupakan suatu keniscayaan karena kita adalah makhluk sosial yang tak bisa hidup sendiri.
Antara memberi dan menerima ada sesuatu yang harus kita ketahui dan kita laksanakan. Jika kita bisa melaksanakannya, maka kedua hal tersebut bisa banyak memberikan kebaikan, ketenangan dan kemanfaatan baik di dunia maupun di akhirat.
Bagi pihak yang memberi, ia harus melakukannya karena dasar keikhlasan. Bukan karena pamrih atau mengharapkan imbalan. Ia harusnya sudah cukup merasa senang jika bisa berbagi. Kemudian bagi pihak yang menerima, ia semestinya tidak hanya mengucapkan terimakasih atau merasa senang saja. Karena manusia mempunyai hati, yang mana ia bisa merasakan “apa yang harus saya lakukan? Saya merasa kasihan dengan orang yang telah memberikan kasihnya kepada kita, dan sebagainya.”
Ketika kita berada di pihak yang diberi, kita sebenarnya juga sedang belajar seperti apa rasanya diberi, dan kita termotivasi ingin memberi agar tahu juga seperti apa rasanya bisa memberi. Dan setelah diresapi ternyata meskipun memberi itu lebih sulit dan lebih berat, tetapi rasanya lebih bahagia dan lebih menenangkan hati.
Jika kita bawa dalam konteks hubungan orang tua dan anak, perlu juga kita merenungkannya. Orang tua kita dari kita masih dalam kandungan, beliau selalu memberi, memberi dan memberi dalam segala hal dan sisi kehidupan kita. Namun setelah anak dewasa, dan anak sudah mampu untuk memberi kepada orang tua, kadang kala anak lupa. Lupa untuk “berterimakasih” atau tahu terimakasih kepada ibu bapaknya.
Kami yakin, hampir semua orang tua dalam “memberi” kepada anak, itu tak kenal usia, karena kasih sayangnya sepanjang waktu. Tetapi bagi anak, semestinya terbuka mata hatinya sehingga mampu melihat betapa besarnya kasih sayang dan jasa-jasa ibu bapak kita. Sehingga sangat tidak mungkin jika ia melupakan atau mengacuhkan kedua orang tuanya. Si anak yang terbuka hatinya akan senantiasa memberi, memberi dan memberi sebisa dan semampu dia, sebagai bentuk ucapan terimakasih yang tak akan mungkin terlunasi sampai kapanpun.
Wallahu a’lam,

Minggu, 09 Oktober 2016

JIKA SAYA BERHASIL BUKAN SAYA YG BERHASIL TAPI ....

Bismillahirrohmanirrohim,
Betapa bahagianya ketika kita memperoleh kebahagiaan atau kemenangan. Banyak orang yang tersenyum manis, memberi selamat, memuji kita dan sebagainya. Semua itu terasa indah dan menyenangkan. Kita sudah mengetahuai bahwa sikap terbaik jika kita berada di posisi atas adalah dengan bersyukur, mengembalikan pujian tersebut kepada Allah, serta tidak terhanyut dalam kenikmatan yang melenakan. Namun ada satu hal lagi yang saya kira perlu untuk kita ketahui dan kita renungkan.
Jika kita memperoleh keberhasilan apapun itu, meski itu sesuatu yang sangat kecil dan remeh ternyata orang pertama yang berhak menerima keberhasilan kita bukan diri kita sendiri, melainkan …..
Coba siapa menurut kalian? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya berikan contoh sederhana. Misalkan kita mengikuti pertandingan sepak bola. Setelah berlatih dengan giat akhirnya kita memperoleh juara 1. Kemudian yang saya tanyakan, ketika bertanding sepak bola ketrampilan dasar apa yang harus dimiliki? Jawabanya adalah ketrampilan berlari. Lalu sebelum berlari kita harus bisa apa dulu? Yaitu kita harus bisa berjalan. Kemudian siapa orang yang mengajari kita berjalan? Tidak lain dan tidak bukan jawabannya adalah kedua orang tua khususnya ibu.
Ini adalah salah satu contoh sederhana yang sering luput dari pemikiran kita. Masih banyak lagi contoh-contoh lain yang ternyata muaranya adalah jasa dari ibu dan bapak kita. Dari contoh diatas, kita bisa belajar bahwa ternyata ada sosok yang sangat berjasa dalam hidup kita. Yang mana dalam setiap kebaikan yang kita dapatkan, ada jasa mereka yang menjadi pokok atau modal pertama sehingga kita bisa meraihnya.
Oleh karena itu, jangan pernah kita melupakan jasa ibu bapak kita. Kita harus sadar bahwa kita sama sekali tidak bisa membalas kebaikan mereka, yang bisa kita lakukan adalah berusaha selalu untuk berbuat baik, mendoakan dan jangan pernah melupakan tetesan air mata dan kucuran keringat yang telah mereka persembahkan untuk kita, sebagai buah hati dan pelita harapannya.
Wallahu a’lam,

Sabtu, 08 Oktober 2016

SEMANGKUK BASO

Bismillaahirrohmaanirrohiim,
Suatu ketika ada pemuda yang pergi ke sekolah, namun ia lupa tidak membawa uang sakunya. Awalnya dia optimis akan kuat tidak makan sampai sore. Istirahat pertama ia masih kuat meski perutnya sudah mulai protes. Kemudian istirahat ke dua, ia sudah mulai gelisah, ditambah lagi ada jam olahraraga. “Duh ge mana ya, perutnya udah mulai sakit, liat temen-temen makan tetapi saya ga bawa uang. Mau pinjem ga enak, apa lagi minta.” Gumam dalam hatinya.
Mungkin bagi mereka yang sudah terbiasa melakukan puasa tidak jadi masalah, sayangnya ia belum terbiasa melakukannya. Tanpa disangka, alhamdulillah ada temen yang peka dan peduli sehingga ia mentraktir makan anak tersebut. Ia membelikan semangkuk baso panas dan satu gelas es the manis. Awalnya dia menolak tawarannya , tetapi akhirnya ia menerimanya karena terus-terusan dibujuknya. Anak tersebut sangat berterimakasih. Ia tidak pernah melupakan kebaikannya dan akan berusaha terus untuk berbuat baik kepadanya.
Dari kisah sederhana di atas, saya kira pernah kita saksikan atau bahkan kita sendiri pernah mengalaminya. Sikap peduli, dan tolong menolong ternyata begitu indah. Sikap “mampu berterimakasih” juga tak kalah indahnya jika seseorang mampu melaksanakannya. Ia tidak hanya mau menerima saja, tetapi juga mampu untuk mengucapkan terimakasih, memberikan sikap yang baik atau memberikan sesuatu bermanfaat untuk kehidupannya.
Sikap tahu balas budi tidak seperti ketika kita bayar hutang ke seseorang. Apabila bayar hutang jika sudah terlunasi maka sudah selesai urusannya. Sedangkan mental tahu balas budi atau tahu terimakasih  adalah sikap baik yang diberikan kepada seseorang khususnya bagi mereka yang berjasa pada kita, tetapi dasarnya adalah keikhlasan. Yang mana keikhlasan itu tak mengenal balasan atau tak mengenal cukup. Dengan keikhlasan ia senantiaasa ingin memberi, memberi dan memberi, meski tak selalu berupa materi.
Dari kisah semagkuk baso tersebut ada satu hal penting yang sering tidak kita sadari. Anak yang menerima baso dari temannya ia sangat berterimakasih dan ingin selalu berbuat baik kepadanya. Tetapi yang menjadi pertanyaan, sudahkah kita mampu berterimakasih dan bertekad akan selalu berbuat baik kepada orang yang setiap hari memberi kita makan? Orang yang selalu merewat kita? Orang yang  selalu menjaga, mendoakan dan memperjuangkan kita setiap hari? Orang yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk kebaikan kita.
Sudahkah kita berterimakasih kepadanya? Seberapa besarkah sikap baik kita yang kita berikan kepadanya? Orang itu adalah kedua orang tua kita, ibu bapak kita. Pikirkan dan renungkanlah apakah masih kurang jasa-jasa beliau sehingga kita tak mempu berterimakasih dan tak mampu berbuat baik kepadanya???
Wallohua’lam