Selasa, 26 September 2017

MANUSIA-MANUSIA PENAKUT


Bismillahirrohmaanirrohim.

Sebelum bicara lebih jauh, penulis ingin mengajukan satu pertanyaan sederhana. Tolong dijawab dalam hati dengan jujur. “Apakah kalian suka jika dibilang seorang penakut?” Kebanyakan dari kita mau diakui atau tidak, akan merasa tidak suka, jengkel, ingin membela diri, bahkan ada yang sampai marah. Hanya sedikit yang mau menerima bahwa dirinya penakut. Kita memang dididik sejak kecil untuk menjadi anak yang berani. Misalkan berani bertanya, berani menyampaikan pendapat, berani tampil di muka umum dan sebagainya. Kita juga diajarkan bahwa ketika seseorang memiliki sikap berani, maka kesuksesan hidup akan mudah ia raih.

Melalui tulisan ini, penulis ingin mengingatkan sesuatu yang mungkin jarang terbesit dalam pikiran kita. Karena sering kali terbius oleh sesuatu yang sifatnya universal atau umum, padahal ada hal-hal khusus yang perlu kita sadari dan pahami juga.

Memiliki sikap pemberani merupakan sesuatu yang baik. Tentunya dalam hal positif dan dengan kapasitas yang proporsional. Apabila keluar dari koridor itu, maka sikap pemberaninya menjadi perbuatan yang tidak baik dan bisa merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.

Suatu ketika penulis mendapatkan sebuah nasihat dari seseorang yang kurang lebih, “Nak, tahukah kamu tanda-tanda orang yang ilmunya bertambah dan berkah? Karena banyak orang belajar, tetapi hanya bertambah ilmunya saja tidak dibarengi dengan keberkahan, sehingga seakan-akan ilmu tersebut tidak atau kurang memberi manfaat untuk dirinya sendiri apalagi untuk orang lain.” Terdiam sejenak, kemudian beliau melanjutkan, “Yaitu ketika orang bertambah ilmunya, diiringi dengan bertambahnya RASA TAKUT kepada Allah.”

Mendengar pernyataan tersebut, seolah-olah “menampar” kita sebagai manusia. Manusia baik disadari atau tidak, setiap hari selalu dididik oleh Allah melalui kehidupan. Tidak pandang bulu, apakah anak-anak, remaja, dewasa, atau bahkan orang tua sekalipun. Begitu pula tidak hanya mereka-mereka yang masih sekolah saja. Bukankah kita diwajibkan menuntut ilmu dari buaian hingga masuk ke liang lahat!

Pertanyaan besarnya adalah, “Apakah setelah ilmu kita bertambah, bertambah pula rasa takut kita kepada Allah? Atau malah justru sebaliknya, setelah ilmunya bertambah, kita menjadi berani meremehkan, melanggar bahkan sampai menentang Nya?” Menurut penulis, ini adalah suatu yang prinsip. Karena manusia diperntahkan untuk menjadi manusia pembelajar sepanjang hayat.

Sikap pemberani tidak selalu baik, begitu pula dengan sikap penakut. Sikap penakut akan baik manakala ia tujukan kepada Dzat Yang Maha Besar, yaitu Allah swt.

Wallohu a’lam

Sabtu, 23 September 2017

KAMU MILIKKU, AKU BUKAN MILIKMU KARENA AKU MILIKNYA

Bismillahirrohmaanirrohiim.

Membaca judul di atas, beberapa pembaca ada yang “terjebak” dalam mindset umum. Terkesan egois, maunya menang sendiri dan tidak adil. Orang yang berprinsip seperti pada judul, mungkin kita terburu-buru mengatakan dan men “judge” orang tersebut adalah orang yang berkarakter buruk.
Sebagai manusia yang mulai tumbuh dewasa, apa lagi yang sudah dewasa, semestinya mau melihat dan memahami lebih mendalam, agar kita tidak salah dalam menilai seseorang atau menilai apa saja. Bukankah manusia itu diciptakan mempunyai dua mata, yang bisa kita analogikan agar manusia itu mau memandang lebih luas dan lebih tajam lagi.

Judul di atas merupakan salah satu prinsip yang Islam ajarkan kepada suami terhadap istrinya. “KAMU MILIKKU”, sebagai istri bukan lagi milik orang tuanya, melainkan telah menjadi milik suaminya. Sehingga surga istri ada pada rido suami. Sebagai suami, bukan berarti boleh bertindak sewenang-wenang. Justru dengan adanya tanggungjawab tersebut, suami harus lebih berhati-hati dalam memperlakukan istrinya. Suami yang baik juga tidak akan mungkin menghalang-halangi istrinya untuk bisa berbuat baik kepada orang tuanya. Justru suami akan menganggap bahwa orang tua istri seperti orang tuanya sendiri yang harus ia hormati dan diperlakukan sebaik-baiknya. Bukankah berkat jasa orang tuanya lah, suami bisa mendapatkan istri yang ia sayangi, ia cintai, dan ia jadikan separuh hati belahan jiwa !

“AKU BUKAN MILIKMU KARENA AKU MILIKNYA”, maksudnya adalah suami bukan milik istri, tetapi masih tetap menjadi milik kedua orang tuanya, khususnya ibu. Sebagai suami, walaupun cintanya sangat besar kepada istri dan anak-anaknya, jangan lupakan bahwa suami tetap menjadi milik ibu dan bapaknya. Surganya masih ada pada rido kedua orang tuanya. Sebagai istri yang baik, dia akan ikhas jika suami membagi sebagian hatinya kepada kedua orang tuanya, dan sebagiannya lagi untuk dirinya. Bukankah dengan membantu suami untuk berbakti kepada orang tuanya, membuat suami senang dan rido terhadap dirinya. Itu artinya, dengan jalan memudahkan suami meraih surganya, maka istri akan ikut mendapatkan surganya.

Pembaca yang semoga dirahmati Allah,
Menjadi suami yang solih, memang bukan perkara mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin terjamah. Begitu pula menjadi istri yang solihah, juga tidaklah gampang, tetapi tidak bermakna mustahil yang hanya ada dalam bayang.
Kuncinya adalah selalu belajar, belajar dan belajar. Diiringi dengan doa yang senantiasa dipanjatkan untuk meraih sakinah, mawaddah warrohmah, dalam bingkai rido Allah.
Wallohu a’lam


~ coretan kado pernikahan buat sahabat ~

Rabu, 13 September 2017

LOGIKA YANG TAK MASUK AKAL


Bismillahirrohmaanirrohiim.

Apabila pembaca memikirkan judul di atas, kira-kira apa yang ada dalam fikiran? Sepintas kita akan bertanya, “Logika itu kan masuk akal, tetapi mengapa di judul ada kata tidak masuk akal? Memangnya ada logika yang tidak masuk akal?” Menurut penulis, kurang lebih pembaca akan berfikir seperti itu. Judul artikel ini terkesan “nyleneh”, tidak akademis, dan mungkin membuat orang bingung. Tetapi bukan itu tujuan dari penulis. Ada hal penting yang perlu disampaikan dan direnungkan bersama.

 Ketika kita ditanya, “Kita bisa hidup di dunia lantaran siapa?” Jawabnya karena adanya Ibu dan Bapak. Ibu telah susah payah mengandung. Bapak berjuang mencari nafkah tanpa kenal lelah. Setelah lahir, orang tua merawat dan menjaga anaknya. Menginjak usia anak-anak, orang tua mendidik dan menyekolahkannya hingga remaja, bahkan ada yang sampai dewasa. Proses dan perjuangan yang dilakukan oleh orang tua tidak sebantar dan tidaklah mudah. Pertanyaan besarnya adalah, “Ketika orang tua menginginkan anaknya menjadi anak yang baik serta bisa hidup sukses dikemudian hari, menurut kalian masuk akalkah permintaan atau harapan orang tua tersebut?” Saya ulangi, “Masuk akalkah permintaan atau harapan orang tua tersebut?”

Menurut penulis, itu permintaan yang sangat masuk akal. Karena telah banyak waktu, tenaga, pikiran, keringat bahkan darah yang telah orang tua curahkan untuk buah hatinya. Jadi sangat wajar orang tua mempunyai keinginan dari anaknya. Namun ada sesuatu yang menurut penulis tidak masuk akal atau sulit dicerna oleh logika kita.

Orang tua telah berkorban banyak hal. Setelah anaknya mulai dewasa, orang tua ingin anaknya bisa mandiri. Ketika anaknya sudah bekerja, ternyata ITU adalah kebahagiaan utamanya, bukan pada uang yang akan ia terima dari anaknya. Kemudian orang tua ingin anaknya bisa berumah tangga. Setelah anaknya sudah punya istri atau suami, ternyata ITU adalah kebahagiaan terbesarnya, bukan pada karena ingin dihormati atau dirawat oleh menantunya. Kemudian orang tua ingin anaknya bisa hidup lebih mapan. Setelah tercapai, ternyata ITU adalah kebahagiaan pokoknya, bukan pada uluran tangan dari anaknya demi menyambung hidup disisa usianya yang semakin renta.

Dari gambaran di atas, menurut penulis itu sesuatu yang sulit dinalar oleh logika atau akal manusia. Inikah sepercik sifat Ilahiyah yang Allah karuniakan kepada Ibu dan Bapak!
Ya Allah, maafkan kami, yang masih sering menyakiti hati kedua orang tua. Izinkan kami untuk bisa berbuat baik kepadanya semaksimal yang kami bisa. Karena kami sadar, “secuwil” pun kami tidak akan mampu membalas kebaikan dan jasa Ibu Bapak. Damaikan hatinya serta ridoilah mereka…. Aamiin


Wallohu a’lam

Minggu, 10 September 2017

CINTA DALAM BINGKAI ILAHI


 Bismillahirrohmaanirrohiim.

Cinta adalah sebuah kata sejuta makna
Tak akan pernah kering menjadi cerita,
wacana, ataupun nostalgia
Banyak definisi yang tak sejalan dengan nurani
Kemana kita kan mencari
Sebuah makna yang hakiki
Jika bukan pada petunjuk Ilahi

Tulisan di atas menjadi pengantar untuk memberi gambaran betapa luasnya pembahasan jika membicarakan tentang cinta.  Jika penulis simpulkan, secara umum cinta itu “menyelamatkan”. Sebagai contoh, Allah mencintai manusia maka Allah memberinya petunjuk dengan menurunkan kitab suci dan rosul Nya dengan tujuan agar manusia bisa meraih keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Orang tua mencintai anaknya, maka mereka berjuang sekuat tenaga untuk memberinya nafkah, membimbing dan mendidiknya. Hal itu dilakukan, tidak lain adalah agar anaknya bisa meraih keselamatan dan kesuksesan di kemudian hari.

Dari contoh sederhana di atas, ada satu hal yang perlu kita pahami. Sering kali sesuatu yang terlihat membuat kita tersiksa, tetapi akhirnya membuat kita bahagia berkepanjangan. Begitu pula sebaliknya, sering pula sesuatu yang awalnya membuat kita bahagia, tapi akhirnya menjadikan kita sengsara berkelanjutan. Oleh karena itu kita harus jeli dalam memandang. Mana cinta dan mana pembawa petaka. Jadi bukan cinta ketika AKHIRNYA membuat kita menyesal dan tersiksa.

Wallohu a’lam

Rabu, 06 September 2017

MELANGIT DAN MEMBUMI


Bismillahirrohmaanirrohiim.

Melangit dan membumi, dua istilah yang oleh sebagian orang sudah akrab di telinganya, namun oleh sebagian yang lain menganggapnya asing. Di tulisan ini penulis akan sedikit menyinggung hal kecil yang mungkin kita lupakan.

Istilah melangit sering dipakai untuk menunjukkan idealisme, cita-cita, harapan, keinginan, atau azam. Hal tersebut merupakan sesuatu yang penting dan harus ada dalam diri manusia. Bahkan semenjak masih sekolah dasar, kita sudah mulai ditanamkan dengan sebuah pepatah, “Gantunglah cita-citamu setinggi langit”. Maksudnya adalah dengan cita-cita yang melangit diharapkan orang tersebut memiliki daya juang tinggi untuk bisa menggapainya. Namun perlu diingat baik-baik, banyak orang yang cita-citanya melangit tetapi dia tidak “membumi”. Akibatnya, dia seolah-olah terjerat dan terbelenggu oleh keinginannya sendiri.

Istilah membumi biasa digunakan untuk menyampaikan sebuah aktifitas konkret sebagai perwujudan dari sikap memahami realita atau kenyataan yang ada. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita hidup di kehidupan nyata. Yang mana sering kali antara teori dan kenyataan itu berbeda. Kemudian yang jadi persoalan selanjutnya, banyak orang yang bercita-cita tinggi atau memiliki idealisme yang luar biasa, tetapi dia sendiri tidak mau mempraktikannya atau tidak mau melihat dan menerima kenyataan yang ada. Dia ingin seperti yang diimpikan, tetapi enggan untuk bergerak. Dia seakan tak sadar bahwa dirinya adalah manusia biasa, yang perlu berjuang setahap demi setahap untuk meraih yang diinginkannya.

Cita-cita yang melangit dan aktifitas yang membumi, hendaknya tidak ada kepincangan diantara keduanya. Sehingga mampu menjadi manusia yang berpandangan jauh ke depan, tapi tetap mau berpijak.

Wallohu a’lam

Selasa, 05 September 2017

BERMENTAL KALAH ENGGAN MENGALAH


Bismillahirrohmaanirrohiim.

Judul artikel ini terasa agak aneh, namun ini fenomena yang sering penulis temui dalam realita kehidupan. Sebagai contoh, saat melihat pertandingan sepak bola, sering kita temui pemain yang protes berlebihan, bahkan sampai memarahi wasit. Akibatnya hanya akan merugikan dirnya atau timnya sendiri. Tetapi (mohon maaf), jika melihat pertandingan sepak bola kelas dunia, walaupun sikap wasit seakan berat sebelah, namun mereka seolah-olah tetap menerimanya. Mereka menyiasati dengan cara berusaha bermain lebih baik lagi, lebih hati-hati dan meminimalisir kesalahan-kesalahan.
            
Dari contoh di atas, mari kita merefleksi diri dengan cara merenung sejenak, betapa banyak sikap-sikap yang tidak perlu kita lakukan, tetapi malah kita melaksanakannya, hanya gara-gara mengedepankan ego dan emosi. Sehingga penyesalan dan kerugian yang kita dapatkan. Bermental kalah dan mengalah adalah dua hal yang mempunyai makna dan nilai yang berbeda. Orang yang bermental kalah cenderung mudah putus asa, dan atau mudah termakan emosi tanpa mau berfikir panjang. Mereka sering kali lupa bahwa perilaku negatifnya ibarat menyulut api dalam tumpukan jerami.
           
Berbeda dengan sikap mengalah. Mengalah bukan berarti pasif atau pasrah tanpa melakukan usaha. Mengalah merupakan salah satu sikap seseorang yang memiliki jiwa besar. Mereka menerima kenyataan, namun tetap melakukan sesuatu yang lebih memberikan kemasalahatan untuk dirinya dan orang lain. Ibarat menangkap ikan, mereka mampu mengambil ikan-ikan itu tanpa membuat airnya keruh. Dalam masyarakat, menurut penulis tidak salah ketika ada ungkapan, “mengalah demi kemenangan” atau “mengalah untuk menang” atau “mengalah berarti menang”, jika kita mampu memaknainya dengan benar. Semoga jiwa kita selalu terdidik dan terdewasakan, sehingga mampu melihat dengan jelas apa yang harus kita lakukan.


Wallohu a’lam

Senin, 04 September 2017

JEDA TAK MESTI BERHENTI

Bismillahirrohmanirrohim,
            Hari Ahad, tepatnya tanggal 3 September 2017, tanpa sengaja saya melihat sebuah acara di televisi “Catatan Tanpa Titik”. Diacara tersebut, ada sosok perempuan yang menurut saya sangat luar biasa, dia bernama Najwa Syihab. Siapa sih yang tidak kenal dengan sosok beliau. Dalam wawancaranya dia mengatakan yang kurang lebih, “Berhenti bukan berarti tidak berkarya, dalam kehidupan ada fase dimana seseorang perlu berhenti sejenak untuk bisa lebih memahami dan bisa berkarya lebih baik lagi”.
            Dari pernyataan di atas, jika saya renungkan maknanya itu mengisyaratkan bahwa berjuang dan berkarya itu adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh manusia, dalam keadaan atau kondisi apapun. Bahkan dalam kata “berhenti” saja, perjuangan harus tetap berjalan. Dalam Islam, umat muslim diperintahkan untuk beribadah dalam artian yang luas. Semua aktifitas positif yang dilakukan oleh manusia jika diniatkan untuk mengabdi kepada Allah, maka akan bernilai ibadah.
            Kemudian, makna kedua yang menggugah saya adalah jangan terlena dengan sebuah “jeda”. Jika terlena, maka jeda itu bisa menjadi “titik” dalam kehidupan seseorang. Sekali lagi saya ulangi, “Jangan terlena dengan sebuah jeda, jika tidak ingin menjadi titik”. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang selalu mendapat bimbingan Allah, sehingga mampu memanfaatkan kesempatan hidup di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Aamiin
Wallohu a’lam