Jumat, 02 November 2018

SOAL RASA

Bismillahirrohmaanirrohiim.

Manusia dikaruniai hati, sebagai tempat bersemayamnya keimanan, juga tempat berlabuhnya perasaan. Salah satunya adalah soal rasa. “Bahagia melihat orang lain bahagia”, kalimat pendek yang mudah untuk diucapkan, tetapi butuh pemahaman dan latihan untuk bisa melaksanakannya. Setiap hal baik membutuhkan proses dan komitmen yang besar agar bisa benar-benar mendarah daging “mbalung sungsum”. Kalau dalam bahasa agamanya, agar bisa menjadi sebuah akhlakul karimah. Seseorang dikatakan telah memiliki akhlakul karimah atau akhlak yang baik, ketika kebaikan-kebaikan bisa ia laksanakan secara spontan, tanpa melakukan pertimbangan-pertimbangan dan proses berfikir yang panjang dan rumit. Tetapi bukan berarti tidak pernah berfikir ketika akan berbuat baik, karena dalam konteks tertentu perlu juga berfikir panjang dengan mempertimbangkan segala konsekwensi positif negatifnya.

Setiap orang secara naluri ingin menjadi yang terbaik, ingin menjadi pemenang, ingin hidup selamat, ingin hidup bahagia dan seabreg harapan-harapan baik lainnya. Kompetisi adalah hal yang baik, bahkan dalam agamapun diajarkan untuk berkompetisi dalam kebaikan atau “fastabiqul khairaat”. Dengan adanya kompetisi, membuat seseorang menjadi semangat untuk belajar, berlatih dan berjuang untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan yang dicita-citakannya. Namun ada satu hal “PRINSIP” yang terkadang manusia terlena dan lupa, sehingga memunculkan sifat yang tidak baik dalam dirinya, yaitu perasaan “Senang melihat orang lain kalah dan sedih melihat orang lain menang”.

Secara kasat mata, dalam perlombaan atau kompetisi pasti ada yang menang dan ada pula yang kalah. Tetapi tidak berarti, “Kita senang di atas kesedihan orang lain atau bersedih di atas kesenangan orang lain”. Ini adalah soal rasa, soal hati, dan perasaaan yang harus benar-benar dijaga dan diluruskan. Hati harus dididik, dan diarahkan dengan baik. Ingatlah, nafsu yang singgah dalam diri manusia, yang apabila ia mendominasi hati nurani, maka yang terjadi adalah memunculkan manusia-manusia yang seakan berjalan tanpa melihat kanan kiri, yang penting dirinya senang.

Belajarlah terus untuk menjadi yang terbaik, tapi jangan lupa belajar pula untuk terus menghargai dan menyayangi orang lain. Karena mereka sama-sama manusia, sama seperti kita. Semoga Allah selalu membimbing dan melunakkan hati kita dalam kebaikan-kebaikan.

Wallohu a’lam.

Sabtu, 20 Oktober 2018

RUTINITAS

Bismillahirrohmaanirrohiim.

Hari esok masih tertutup rapat. Rahasia kehidupan yang dengannya manusia sering bertanya-tanya tentang tulisan-tulisan itu. Manusia adalah manusia, yang Allah ciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah dalam artian luas menyangkut segala sesuatu yang muaranya adalah meraih keridoan dari Sang Pencipta. Allah sengaja merahasiakan masa depan agar manusia terus berusaha, terus berdoa. Pada titik menjelang dibukanya tabir, agar manusia bisa tawakal kepada-Nya. Dan saat tabir itu telah terbuka, agar manusia bersikap ridha menerima bagian yang telah Allah berikan.

Inilah siklus dalam menghadapi setiap persoalan hidup. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi bukan berarti “telapak tangan tak mungkin berbalik”. Disinilah Allah menguji siapa dari hamba-hamba-Nya yang pantas meraih kemuliaan. Butuh keyakinan, butuh latihan yang terus menerus kita lakukan. Butuh pula motivasi dari banyak belajar, banyak mengaji, banyak mengkaji, banyak bertanya dan banyak membaca.

Dunia memang bukan surga, dunia juga bukan neraka. Tapi kita bisa “bersahabat” dengannya. Jika kita terus mendekat pada Sang Penciptanya.

Wallohu a’lam.

Selasa, 16 Oktober 2018

BAIK ATAU BIJAK

Bismillahirrohmaanirrohiim.

Jujur itu baik, menasihati itu baik, menolong juga baik. Namun ada kalanya ada kejujuran yang membuat orang tersakiti, ada nasihat yang membuat hati tersayat, ada pula pertolongan yang menjadikan orang merasa hina. Bukan jujurnya yang salah, bukan nasihatnya yang salah, bukan pula menolongnya yang salah, tetapi cara kita melakukannya yang belum tepat. Ada seni dalam berbuat baik yang kadang kala terlupakan. Disinilah letak kedewasaan seseorang terlihat dan teruji.

Semua orang tahu bahwa sifat-sifat diatas itu baik, tapi tidak semua orang tahu bagaimana caranya agar kebaikan itu “tidak mendatangkan keburukan”. Bukankah Islam datang untuk menyelamatkan dan memanusiakan manusia dengan misinya rahmatal lil ‘alamin! Tapi mengapa kadang kala kita terlalu egois, hanya memandang yang ada di depan mata dan selalu meng-iyakan apa yang ada dalam rasa. Teruslah menggali, teruslah mengkaji. Tidak hanya dari teks, tapi dari konteks kehidupan real manusia.

Wallohu a’lam.

Jumat, 12 Oktober 2018

IBARAT RINTIK HUJAN

Bismillahirrohmaanirrohiim,

Manusia adalah makhluk yang telah menerima tanggung jawab sebagai “khalifatullah fil ard” atau wakil Allah di muka bumi. Tugas dan tanggung jawab ini tidaklah mudah. Buktinya telah diabadikan dalam Al-Qur’an, bahwa Allah telah menawarkannya pada langit, bumi dan gunung. Mereka semua menolaknya. Namun ketika ditawarkan kepada manusia, ia menerimanya dan merasa sanggup untuk mengemban beban berat itu.

Allah Maha Rahman, Maha Rahim. Tidak akan membiarkan umat manusia berjalan tanpa arah. Dia selalu mendidiknya, tapi sering kali manusia tidak menyadari betapa luas kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.

Allah mendidik umat manusia ibarat RINTIK AIR HUJAN yang tak pernah henti.
Jangan salahkan air yang tak mampu mengisi.
Tapi salahkan diri yang tak mau membuka hati.

Wallohu a’lam.

Minggu, 07 Oktober 2018

ILMU ADALAH ....

Bismillahirrohmaanirrohiim,

Dalam kehidupan, manusia tidak bisa lepas dari ilmu. Setiap saat selama nafas masih berhembus, manusia tetap berkewajiban untuk terus menuntut ilmu, dengan beragam cara dan kepada siapapun. Kewajiban menuntut ilmu seolah Allah ingin menyampaiakan bahwa “tidak ada manusia yang pintar”, yang ada adalah manusia yang dititipi sedikit ilmu atas ikhtiyar dan kehendak-Nya. Jika bicara tentang ilmu, sering kali diidentikan dengan pengetahuan. Apakah sama diantara keduanya. Apabila sama, alasannya apa? Dan apabila berbeda, letak perbedaannya dimana?

Merujuk pada apa yang disampaikan oleh Ibnu Mas’ud ra bahwa “ILMU ADALAH TAKUT KEPADA ALLAH”. Seandainya ada orang yang punya banyak pengetahuan, sementara dengan pengetahuannya tidak menjadikannya tambah dekat sama Allah, tidak menjadikannya tambah takut sama Allah, itu artinya dia belum mendapatkan ilmu. Yang ia dapatkan baru sebatas pengetahuan saja. Begitu pula sebaliknya, ada orang yang pengetahuannya sedikit, tapi dengan pengetahuannya tersebut, menjadikannya tambah taat pada Allah, tambah cintanya sama Allah, dan tambah takutnya terhadap ancaman dan siksa-Nya, itu artinya orang tersebut telah mendapatkan ilmu.

Ingatlah “ILMU ADALAH CAHAYA”. Ilmu itu sifatnya suci, dan akan bersemayam pada wadah yang suci pula. Allah menganugerahi manusia dengan “hati”, sebagai tempat tertampungnya ilmu. Oleh karena itu, perbanyaklah istighfar, perbanyaklah muhasabah dan munajat kepada-Nya. Mudah-mudahan Allah membersihkan hati kita, sehingga tidak hanya pengetahuan yang kita dapatkan, tetapi ilmu yang kelak bisa menyelamatkan.

Wallohu a’lam

Rabu, 04 Juli 2018

TABIR PEMISAH

Bismillahirrohmaanirrohiim.

Antara manusia satu dengan manusia lainnya adakah tabir yang menghalangi mereka? Pertanyaan ini sepertinya terlihat aneh dan terkesan mengada-ada. Coba kita cermati baik-baik, pada saat kita berhadapan langsung dengan lawan bicara kita dan saling bercakap-cakap atau bercerita, apakah kita bisa mengetahui apa yang ada di pikiran rekan bicara kita secara utuh? Sebagai manusia biasa, kita tidak akan mampu mengetahuinya. Dalam jarak yang sangat dekat saja, manusia tidak bisa, apalagi terhadap orang yang terpisahkan oleh jarak dan waktu.

Terkadang manusia terlalu berani menganggap orang lain lebih rendah, serta terlalu berani pula menganggap dirinya lebih baik dan lebih suci. Ingatlah, ada tabir yang memisahkan kita dengan orang lain. Banyak amal shalih orang lain yang tidak kita ketahui, begitu juga banyak pula dosa dan kemaksiatan yang telah kita dilakukan, namun orang lain tidak mengetahuinya. Betapa penyayangnya Allah yang telah membuat tabir itu. Andaikan semua yang ada di hati, semua yang ada di pikiran dan semua yang dilakukan oleh kita, diketahui seluruhnya oleh orang lain, betapa malunya diri kita. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama untuk terus memperindah hati, menata pikiran dan memperbaiki budi pekerti. Teruslah berbuat baik, karena Allah Maha Melihat, Allah Maha Baik.

Wallohu a’lam

Jumat, 22 Juni 2018

PE DE


Bismillahirrohmaanirrohiim.

Memiliki rasa percaya diri dalam melakoni setiap episode kehidupan adalah dambaan setiap orang. Rasa ini menjadi salah satu motor penggerak bagi seseorang untuk melakukan aktifitasnya dengan ulet dan gigih. Tak hanya itu, percaya diri juga menjadi sebuah mental positif untuk terus teguh dan kukuh dalam mempertahankan prinsip dan pendiriannya. Dengan kuatnya rasa ini pula, seseorang bisa menjalin komunikasi dan hubungan sosial yang hangat.

Namun ada beberapa hal yang harus dipahami agar seseorang tidak salah dalam mengartikan istilah “percaya diri”. Sebagian orang menganggap percaya diri adalah merasa bangga terhadap kelebihan yang dimiliki. Ada pula yang mengatakan, percaya diri adalah menganggap orang lain lebih rendah dari dirinya.

Menurut pembaca, benarkah dua pengertian di atas! Bukankah percaya diri adalah sifat yang mulia! Bukankah sesuatu yang mulia tidak mungkin membuat atau menganggap orang lain hina!

Manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pada dasarnya Allah memandang semua manusia itu sama, yang membedakan adalah ketakwaannya. Kalau kita berangkat dari pemahaman agama, percaya diri itu bukanlah bangga terhadap kelebihan diri, bukan pula menganggap orang lain lebih rendah. Percaya diri adalah menganggap bahwa semua manusia itu “sama”. Sama-sama ciptaan Allah, sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan, sama-sama punya potensi untuk berhasil.

Untuk persoalan ketakwaan seseorang, biarlah Allah yang menilainya. Kita memang bisa melihat baik buruk seseorang, namun yang perlu diingat bahwa sehebat-hebatnya manusia, tak akan mampu menilai seseorang secara keseluruhan. Jangankan aspek rohani, aspek aktifitas jasmani saja hanya sebagian kecil yang mampu manusia lihat. Oleh karena itu, janganlah penilaian kita terhadap orang lain, membuat jiwa dan raga kita enggan untuk bergerak.

Teruslah melangkah, meski kondisi di bawah.
Teruslah berbuat, meski tangan dan kakimu berat.
Ingatlah kita manusia, kita sama-sama diciptakan oleh Allah Yang Maha Sempurna.
Wallohu a’lam.

Selasa, 19 Juni 2018

SIAP SUSAH


Bismillahirrohmaanirrohiim.

Setiap manusia menginginkan hidup selamat dan bahagia. Hidup yang senantiasa diliputi suasana tenang, damai dan serba menyenangkan. Terpenuhinya segala kebutuhan, baik dari segi materi maupun immateri. Banyak cara ditempuh demi tercapainya sebuah kebahagiaan. Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Kasih dan sayang-Nya yang begitu luas, ibarat cakrawala yang tak berujung dan tak bertepi, terkadang membuat manusia lupa bahwa “Sebulir pasir bisa menjadi mutiara”.

Jika kebahagiaan yang ditemui, bersyukurlah dan bersabarlah.
Jika kesusahahan yang menghampiri, bersabarlah dan bersyukurlah.
Yakinlah tak ada yang sia-sia, terlebih bagi jiwa yang rela menerima dan terus berusaha.
Wallohu a’lam.

Senin, 18 Juni 2018

ANTARA TANGIS DAN TAWA


Bismillahirrohmaanirrohiim

Dalam hidup, dua hal ini tak bisa lepas dari kehidupan manusia, sudah menjadi sunnatullah dan ketetapan Allah yang tak bisa dipungkiri keberadaannya. Keduanya merupakan bagian dari sisi kemanusiaan yang Allah karuniakan kepada umat manusia. Tangis ibarat air hujan yang mampu membasahi dan menumbuhkan bumi, sedangkan tawa bagaikan bunga dan dedaunan yang tumbuh beraneka warna dan penuh keindahan. Manusia ketika menangis, kadang lupa saat dia tertawa. Begitu pula saat tertawa, sering kali lalai ketika ia menangis. Hari raya Idul Fitri merupakan salah satu momen kebahagiaan bagi umat Islam. Namun apakah kebahagiaan tanpa batas yang dikehendaki Islam?

Bukankah kita pernah mendengar keterangan bahwa, langit, bumi bahkan para malaikat pada saat Bulan Ramadhan akan berakhir, mereka menangis. Mereka bersedih karena tahu bahwa bulan yang penuh keberkahan, bulan yang penuh kemuliaan, penuh dengan rahmat, penuh dengan maghfirah, akan meninggalkan manusia. Masjid-masjid tak seramai lagi pada saat bulan Ramadhan. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an mulai lirih terdengar oleh telinga. Kebiasaan berbagi mulai mengikis.

Sadarkah kita dengan semua ini! Sudahkah kita beribadah, berjuang, belajar dan berdoa dengan maksimal di Bulan Ramadhan yang telah meninggalkan kita tahun ini! Yakinkah kita, telah menjadi golongan orang-orang yang muttaqin, setelah kita melakukan ibadah puasa sebulan penuh! Yakinkah kita, telah mendapatkan ampunan atau maghfirah dari Allah setelah kita banyak melakukan amal shaleh!

Mari kita belajar. Belajar menjadi manusia yang mampu melihat dari sisi yang berbeda, sehingga kita mampu tertawa dan menangis dengan elegan dan bijak. Mampu memiliki keyakinan yang menghujam, namun tak mengurangi kesadaran bahwa kita adalah hamba Allah yang sangat membutuhkan pertolongan dan kasih sayang dari-Nya. Sehingga keyakinan kita tak mengurangi sikap bergantung dan pengharapan kita terhadap Sang Maha Kuasa.
Wallahu a’lam

“Selamat hari raya Idul Fitri 1439 H, mohon maaf lahir batin. Semoga kita kembali pada kesucian, diberikan sikap istiqomah dalam berbuat baik, dan masih diberi kesempatan untuk bertemu Bulan Suci Ramadhan yang akan datang. Aamiin”

Jumat, 16 Februari 2018

MERENUNGLAH SEJENAK




Bismillahirrohmaanirrohiim,

Merenung merupakan sesuatu yang sederhana, tetapi bukan berarti tidak ada guna. Banyak manfaat yang bisa kita dapatkan, jika perenungan yang kita lakukan muaranya untuk mencapai rido Ilahi. Merenung bisa melatih hati, membeningkan nurani, serta memperbaiki budi.

Melalui tulisan singkat ini, penulis ingin mengajak untuk melihat lebih dalam sosok “kakek-kakek atau nenek-nenek yang gemar ke mushola atau ke masjid, untuk melaksanakan shalat jamaah ataupun untuk mengaji.” Coba tanyakan dalam diri kita, “Apakah kelak kalau kita sudah tua bisa seperti beliau-beliau yang semakin sepuh semakin mendekat sama Allah?”

Kita tahu bahwa mungkin pendidikan kita lebih tinggi, makanan kita lebih bergizi, kehidupan kita juga lebih mudah karena teknologi. Namun lagi-lagi ada pertanyaan besar yang seharusnya selalu mengganjal dalam benak dan sanubari kita, “Mampukah kita lebih baik dari mereka di hadapan Dzat Yang Maha Pencipta? Bukankah kenikmatan yang kita terima jauh lebih banyak dan lebih besar dari mereka!” Jangan-jangan kita masih kalah jauh.

Sebagai contoh, hanya sekedar memegang, membuka kemudian membaca Al-Qur’an seayat dua ayat saja, kita mungkin masih jarang melakukannya. Padahal saat kecil dulu, kita rajin dan sangat bersahabat dengan kitab suci. Sekarang tanpa sadar, kita sering meninggalkannya. Bukan karena tidak bisa membaca, tetapi karena kita merasa sangat sibuk dan tidak ada waktu lagi untuk melakukannya.

Apakah kita tidak malu jika melihat kakek-kakek dan nenek-nenek yang masih mau belajar, masih mau mengaji, dan masih mau mengeja seperti layaknya anak kecil. Mereka tidak malu apalagi enggan. Seolah-olah bagi mereka, membaca Al-Qur’an adalah sesuatu yang sangat nikmat dan sesuatu yang membuat dirinya bahagia. Hal itu terlihat jelas dari semangatnya yang tinggi, sinar matanya yang teduh, serta senyumnya yang hangat.

Sekali lagi, “Tidak malukah kita dengan beliau-beliau itu! Kemudian bisakah kita seperti beliau-beliau, sementara sikap dan perilaku kita saat ini masih sering tidak sejalan dengan kehendak-Nya!”

Wallohu a’lam.

Senin, 08 Januari 2018

JURUS AMPUH MENJADI ORANG BAIK




Bismillahirrohmaanirrohiim,

Apabila mendengar kata “jurus”, yang muncul dalam benak kita kurang lebih adalah tentang sesuatu yang hebat, luar biasa dan bisa menjadikan seseorang  “sakti mandraguna”. Dengan jurus yang hebat pula, seseorang bisa mengalahkan musuh-musuhnya dan bisa menjadi sosok yang dikenal oleh banyak orang. Lalu yang ingin penulis tanyakan, untuk mendapatkan itu semua apakah seseorang hanya cukup berleha-leha saja tanpa mau berusaha, belajar dan berlatih? Adakah perjuangan, pengorbanan dan rasa sakit yang harus ia terima agar mampu menguasainya?

Tulisan ini akan sedikit memberi gambaran umum tentang satu hal yang seharusnya setiap manusia itu mampu menguasainya, sehingga ia menjadi orang yang baik, khususnya dalam berhablum minannas (berhubungan dengan sesama manusia). Satu hal penting itu penulis istilahkan dengan “jurus ampuh”, agar pembaca lebih mudah dalam mengingat dan memahaminya.

Jurus ini sangat sederhana sekali, prinsipnya adalah “Jika dipukul sakit, maka jangan memukul”. Coba resapi dan renungkan prinsip tersebut. Semakin dalam kita memahaminya, maka akan semakin mudah dalam mengaplikasikannya.  Prinsip ini menurut orang jawa, diistilahkan dengan “tepak ngawak”. Yaitu berusaha memposisikan diri orang lain, seperti diri kita sendiri.

Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang sama. Setiap manusia ingin selamat, ingin bahagia, ingin diterima dan diakui keberadaannya, ingin disayang, ingin diperlakukan baik dan sebagainya. Begitu pula sebaliknya, setiap manusia tidak ingin celaka, tidak ingin sengsara, tidak ingin diabaikan, tidak ingin disakiti, dan tidak ingin diperlakukan kasar. Apabila kita sudah memahami itu semua, maka akan muncul dalam fikiran bahwa “semua orang pada dasarnya adalah sama”. Karena orang maka ingin diorangkan, karena manusia maka ingin dimanusiakan, tentunya sesuai dengan batasan-batasan yang diridoi oleh-Nya.

Setelah muncul pemahaman tersebut, selanjutnya diri kita akan terdorong untuk menekan sisi ego yang ada dalam diri. Sisi ego atau “keakuan” yang selama ini tumbuh subur tanpa kendali membuat banyak orang disekitar kita terabaikan karenanya. Terlalu besarnya ego telah membutakan mata hati untuk bisa melihat ke dalam, dan ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Sehingga banyak hal penting luput dari pandangan dan kepedulian kita. Kita cenderung terlalu asik dan sibuk dengan urusan-urusan pribadi tanpa mau mengorbankan sebagian hidup kita untuk orang lain. Sungguh betapa egoisnya kita.

Kemudian setelah kita mampu mengendalikan ego, yang perlu dimunculkan selanjutnya adalah kemampuan untuk bisa memilah dan memilih serta menentukan apa yang harus dilakukan terhadap orang lain, baik dari segi hati / prasangka, ucapan dan juga tindakan. Sehingga apa yang ada di hati, fikiran, lisan dan perbuatan kita sesuai dengan tugas manusia sebagai “khalifatullah fil ard” yaitu wakil Allah di muka bumi.

“Jika orang lain sebagai kata, maka jadikan diri kita untuk mengeja”
Sehingga antara tulisan dan ucapan akan selaras dan sejalan.

Wallohu a’lam

KEWIBAWAAN


Bismillahirrohmaanirrohiim,

Kewibawaan datang dari jiwa yang bersih, bukan dari hati yang seperti buih
Kewibawaan bukanlah keangkuhan, melainkan keteduhan
Kewibawaan bukan dari omongan, melainkan dari keteladanan
Kewibawaan bukanlah keinginan, melainkan cerminan
Kewibawaan bukan rasa takut, melainkan rasa yg tertaut
Kewibawaan bukanlah pujian, melainkan keikhlasan
Kewibawaan bukan mengkerdilkan, melainkan mengorangkan

Wallohu a’lam


Selasa, 02 Januari 2018

IMAGE


 Bismillahirrohmaanirrohiim,

Manusia adalah makhluk yang Allah ciptakan dengan sebaik-baik bentuk. Manusia juga dinobatkan sebagai “khalifatullah fil ard” atau wakil Allah di muka bumi. Allah juga telah mengkaruniani hati dan pikiran yang di dalamnya memuat nurani dan potensi yang sangat luar biasa. Jadi sangat tidak masuk akal apabila Allah menciptakan manusia tanpa adanya tujuan penciptaan. Hal yang kita anggap sederhana atau sepele saja ada tujuan penciptaannya, apalagi manusia.

Sebagai seorang muslim, tentu sudah memahami bahwa tujuan Allah menciptakan manusia tidak lain adalah untuk beribadah atau mengabdi kepada-Nya. Ibadah dalam artian yang luas, yaitu segala aktifitas, bisa berupa hati, ucapan maupun perbuatan yang dilakukan dengan niat untuk mencari rido Allah.

Manusia dengan segala aktifitasnya, penulis gambarkan layaknya sebuah benda tiga dimensi, yang mana benda tersebut bisa dilihat dari berbagai sisi. Namun jika dikelompokan secara umum, ada dua subjek pandang besar. Yang pertama, pandangan dari Sang Pencipta. Kemudian yang kedua, pandangan dari sesama manusia. Hal ini kadang kurang diperhatikan oleh manusia, padahal merupakan sesuatu yang sangat mendasar.

Jika dikaitkan dengan tujuan penciptaan manusia. Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, tetapi mengapa banyak manusia yang “beribadah” kepada sesama manusia? Ia dipantau dan diawasi oleh Allah, tetapi mengapa banyak manusia yang hanya takut kalau dipantau dan diawasi oleh manusia? Allah menilai pengabdian hamba-Nya, tetapi mengapa banyak manusia yang menganggap penilaian yang haq itu dari sesama manusia?

Beberapa pertanyaan di atas bisa sebagai bahan refleksi diri. Apakah kita termasuk orang yang orientasinya pandangan Allah atau pandangan sesama? Ini persoalan niat, persoalan yang sangat penting. Bahkan bisa dikatakan bahwa niat adalah ruhnya amal. Jika salah dalam niat, bisa berakibat fatal. Perjuangan, jerih payah, ataupun pengorbanan yang kita curhkan bisa kosong tanpa makna, dan yang didapat hanya “tepuk tangan” dari sesama. Naudubillah …

Pandangan baik dari sesama memang dibutuhkan, tapi bukan menjadi tujuan.
Biarlah kejernihan hati dan perbuatan yang akan memantulkan kemuliaan.

Wallohu a’lam.