Selasa, 28 Maret 2017

BUTA BUKU

Bismillahirrohmaanirrohiim
Apabila kita ditanya, “Berapa jumlah buku yang telah selesai dibaca dalam satu tahun ini?” Kira-kira berapa yang akan kita jawab. Atau kita hanya diam karena malu untuk menyampaikannya. Mungkin satu tahun terlalu singkat untuk kita, maka saya ganti pertanyaannya, “Selama kita hidup di dunia ini, berapa buku yang telah kita khatamkan?” Silahkan jawab dalam hati kita masing-masing.
Suatu ketika saya membaca di salah satu media masa nasional, disana disebutkan bahwa kita masih banyak yang “buta buku”. Awalnya saya merasa aneh dengan istilah tersebut, karena baru pertama kalinya mendengar peristilahan itu. Setelah saya baca dan amati secara keseluruhan kurang lebih maksud dari buta buku adalah minimnya semangat seseorang untuk membaca, sehingga jika ditanya seperti pertanyaan di atas, dia akan bingung menjawabnya. Bukan karena saking banyaknya, tetapi karena saking sedikitnya buku yang telah ia baca.
Di masyarakat kita masih ada yang beranggapan bahwa orang yang mau bersahabat dengan buku dianggap orang yang “sok”. Sok rajin, sok pintar, sok baik, sok cari perhatian dan sebagainya. Sangat miris sebanarnya jika seseorang masih beranggapan seperti itu. Bukankah dengan cara membaca buku, wawasan kita menjadi bertambah luas, ilmu dan pemahaman kita semakin dalam, serta mampu mendorong seseorang untuk bersikap bijak dalam menapaki kehidupan nyata ini.
Membaca buku memang bukan satu-satunya agar seseorang berwawasan luas. Banyak cara, apalagi diera digital saat ini yang memungkinkan seseorang bisa mendapatkan ilmu dan informasi secara mudah dan sangat cepat. Namun keberadaan buku tetap menjadi sesuatu yang penting dan harus ada.
Menjadi seseorang yang semangat dan rajin membaca buku, nampaknya perlu dilatih dan diperjuangkan. Siapa tahu lantaran kita membaca buku, Allah menghendaki hati dan pikiran kita terbuka untuk menerima kebenaran. Kemudian satu hal lagi sebagai penutup tulisan ini, seandainya kita sudah punya semangat untuk membaca, tolong jangan “tinggalkan” guru-guru kita. Jangan kita gantikan posisi guru kita dengan buku-buku yang telah kita baca ataupun yang telah kita miliki, atau bahkan yang telah kita kuasai sekalipun. Karena ada bimbingan, doa dan juga rido dari seorang guru, yang peranannya sangat penting untuk meraih keselamatan dunia hingga akhirat.
Wallohu a’lam

Rabu, 22 Maret 2017

MENULIS

Bismillahirrohmaanirrohiim
Kegiatan menulis saat ini bukan sesuatu yang aneh lagi. Apalagi bagi anak-anak atau remaja yang masih sekolah. Mereka dalam kesehariannya “tiada hari tanpa menulis”, baik diperintah gurunya untuk mencatat atau inisiatif sendiri mencatat hal-hal penting ketika dalam pembelajaran. Rutinitas positif tersebut menurut saya perlu sekali untuk dikembangkan dan dibudayakan.
Manfaat menulis yang paling mendasar adalah untuk mengingatkan kita terhadap suatu ilmu atau informasi yang dianggap penting. Sehingga sewaktu-waktu apabila lupa bisa dibuka kembali catatannya. Selain digunakan untuk mencatat ilmu atau informasi tertentu, di tahap yang lebih tinggi, menulis juga dapat digunakan sebagai media untuk “menggambar” ide, gagasan ataupun pengalaman yang telah kita alami. Jadi menulis dalam tahap ini, bisa digunakan oleh pembaca untuk menilai seberapa tinggikah nilai kesopanan, kesantunan, kesistematisan dan kelogisan tulisan, wawasan dan pandangan hidupnya, serta seberapa dalam makna yang terkandung dalam tulisan tersebut.
Setelah membaca uraian pendek di atas, oleh beberapa orang mungkin merasa takut. Karena jika dia menulis, maka orang lain bisa mengetahui seberapa tinggi kemampuan dirinya. Perlu digaris bawahi bahwa tujuan tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti pembaca sekalian, tetapi justru untuk memotivasi diri penulis sendiri dan pembaca semua bahwa menulis merupakan sesuatu yang sangat penting.
Kita tidak perlu terlalu memikirkan penilaian orang lain kepada kita, karena setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Yang terpenting adalah kita selalu berusaha memperbaiki diri dan memberikan yang terbaik kepada orang lain, termasuk dalam hal menulis. Seandainya tulisan kita belum bisa meninggalkan bekas apa-apa dalam hati dan pikiran orang lain, maka tidaklah menjadi masalah. Setidaknya kita telah belajar hal besar bahwa, untuk menyampaikan sesuatu butuh melalui proses berfikir terlebih dahulu. Agar yang kita sampaikan bisa diterima dan dipahami orang lain. Dan yang paling penting lagi adalah agar yang kita sampaikan tidak melukai dan menyakiti hati orang lain.
Kita sering kali berbicara tanpa memikirkan dampak dari kata atau ucapan yang keluar dari mulit kita. Bukankah tersakiti karena ucapan lebih menyakitkan dari pada terluka karena goresan..! Dan bukankah luka karena ucapan lebih lama sembuhnya, ketimbang luka karena sayatan..!
Wallohu a’lam

TERSENYUMLAH

Bismillahirrohmaanirrohim.

“Hidup bukanlah sesuatu yang mudah untuk kita jalani
Karena banyak orang gagal dalam menjalani kehidupan ini.
Akan tetapi, hidup juga bukan hal yang sangat sulit,
Karena ada pertolongan dan kasih sayang-Nya yang selalu berkait
Senyum adalah hal kecil yang mampu merubah hal besar
Senyum merupakan cermin dari keikhlasan hati, dan kelembutan nurani.
Dengan senyuman kita bisa merasakan manisnya "pahit dunia".
Dengan senyuman pula, kita bisa belajar mensyukuri nikmatNya.
Senyum pulalah yang mengantarkan pada kasih sayang
Dari makhluk dan Sang Khaliq.
Rasanya tak ada kesusahan, tak ada beban, dan tak ada kesedihan
jika hati kita benar-benar  ikut tersenyum bersama wajah manis kita.
Tak ada yang menjadi buruk karenanya.
Andaikata wajah ini tak seelok senja,
Dengan senyum akan terlihat bagai sinar purnama.
Berusahalah,,,agar kita selalu bahagia dalam meniti perjuangan hidup ini,
Demi mendapatkan kasih dan rido Sang Ilahi.”
[Catatanku 5 Maret 2012]

Wallohu a’lam

Senin, 20 Maret 2017

BELAJAR

Bismillahirrohmaanirrohiim
Aktifitas belajar merupakan perbuatan yang sangat mulia. Dengan belajar manusia bisa menjadi tahu, paham, bisa, terampil dan juga ahli. Alhamdulillah di negeri tercinta ini perhatian permerintah terhadap pendidikan sudah cukup besar, sehingga sudah banyak sekolah khususnya tingkat SD dan SMP yang tidak lagi meminta bantuan sumbangan dari siswanya.
Selain perhatian dari pemerintah, Allah juga sangat mengharuskan bagi hamba-Nya terlebih yang muslim untuk senantiasa  menuntut ilmu. Kalau dalam kajian keislaman, hukum menuntut ilmu atau belajar adalah wajib. Jadi ketika seseorang meninggalkannya maka ia telah berdosa. Allah memberikan dosa bagi yang tidak mau belajar bukan karena Allah kejam, tetapi justru karena Allah sangat mencintai dan menyayangi kita semua. Begitu pula sebaliknya, jika seseorang mau menuntut ilmu dan dilakukan karena Allah, maka Allah akan memberikan banyak pahala dan keutamaan untuk mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, selaku orang dewasa sering kali menyuruh dan menasehati anaknya, adiknya atau siswanya untuk selalu belajar. Tidak hanya itu, mereka juga menunjukkan berbagai manfaat jika seseorang rajin belajar, agar si anak yakin dan bersemangat dalam belajar. Bahkan ada yang siap memberinya hadiah sebagai motivasi anak. Dari contoh di atas tampak jelas bahwa pemahaman akan pentingnya belajar sudah cukup baik.
Namun apabila kita amati lebih dalam, sepertinya ada satu hal penting yang mungkin terlupakan oleh mereka yang sudah dewasa, khususnya orang-orang yang tidak sekolah lagi. Mereka banyak yang lupa bahwa dirinya juga “masih berkewajiban untuk belajar”. Bukankah kita diwajibkan untuk menuntut ilmu sejak dalam buaian sampai masuk liang lahat..? Bukankah itu artinya, selama manusia masih bernafas dan selama jantung masih berdetak, maka kewajiban itu masih tetap melekat dalam dirinya.
Saat ini, izinkan kami bertanya, “Sudahkah kita (selaku Bapak, Ibu, Kakak, Bapak Ibu Guru dan siapa saja yang merasa dewasa) sudah belajar, sebelum kita mengajak dan menasihati orang-orang yang kita sayangi?”
Dari tulisan singkat ini, semoga mampu mengingatkan kita semua untuk menjadi manusia-manusia yang senantiasa mau belajar, sebagai salah satu bentuk pengabdian dan ibadah kita kepada Allah swt. Selain itu, semoga kita juga menjadi orang tua yang bijaksana, yang mau memberikan teladan kepada siapapun, terlebih kepada anak-anak kita. Karena anak-anak lebih mudah menerima sesuatu yang mereka lihat dari pada yang hanya mereka dengar.
Wallohu a’lam

Minggu, 19 Maret 2017

KETERBATASAN

Bismillahirrohmaanirrohiim
Manusia menginginkan hidup bahagia, diberikan kecukupan, bahkan ingin selalu memiliki kelebihan harta, sehingga mampu membeli apapun yang diinginkannya. Segala daya upaya, pikiran dan tenaga banyak tercurahkan untuk meraih yang namanya “keberlimpahan atau kemewahan hidup.”
Jika ditanya, apakah salah jika kita menginginkan dan memperjuangkan itu semua? Jawabannya, tentu tidak salah. Asalkan kita mampu mengendalikan dan menjadikannya sebagai alat untuk berbuat kebaikan dan meraih keridoan Allah. Seandainya seseorang telah meraih pekerjaan yang baik, harta yang banyak, pangkat yang tinggi, dan “seabreg” kemewahan dan kehormatan yang lainnya, perlu sekali rasanya untuk mau belajar dari seseorang yang memiliki “keterbatasan”.
Keterbatasan juga memiliki kemuliaan. Dari orang-orang yang memiliki keterbatasan, kita belajar memaknai rasa syukur, memahami kesederhanaan, pengorbanan dan sikap rendah hati. Selain itu, kita juga diajarkan tentang pentingnya berkasih sayang, tolong menolong dan rasa berempati kepada sesama. Bukankah orang-orang yang sudah “berada”, atau orang-orang yang sudah menjadi “orang”, tidak mungkin bisa mencapai itu semua tanpa bantuan dan perjuangan orang lain! Dan bukankah itu semua juga ada campur tangan Tuhan di dalamnya !
Wallohu a’lam

DIUNDANG TETANGGA

Bismillahirrohmaanirrohiim
Rumah tempat tinggal orang tua saya ada di desa. Suatu ketika tetangga ada yang sedang mempunyai hajat. Semua bapak-bapak atau kepala keluarga yang ada dilingkungan sekitar diundang semua untuk berdoa bersama. Dengan harapan apa yang dihajatkan bisa terlaksana dengan lancar dan selamat tidak ada halangan apapun. Pada saat itu keadaan ayah saya tidak begitu sehat, sehingga menyuruh saya untuk menggantikannya. Saya pun bersedia dan saya berangkat bersama bapak-bapak yang lain ba’da shalat isa.
Ketika di perjalanan, kami bertemu Pak Kyai, dan bersalaman termasuk saya. Saya juga mencium tangan Beliau seperti yang biasa santri lakukan kepada kyainya. Kami berjalan bersama sambil ngobrol ringan. Sesampainya disana, saya bersama rombongan dan Pak Kyai, menyalami orang-orang yang sudah duduk menanti kami. Ada beberapa kursi dan tikar yang sudah disiapkan tuan rumah untuk tamunya. Setelah kami selesai bersalaman, ternyata masih tersisa satu kursi kosong. Sedangkan yang belum duduk Beliau (Pak Kyai) dan saya. Tuan rumah dan bapak-bapak yang sudah hadir mempersilahkan Pak Kyai untuk “lenggah” (duduk) di kursi yang tinggal satu tersebut. Tiba-tiba Beliau melihat saya, karena saya juga belum dapat tempat duduk. Saya dengan segera juga ikut mempersilahkan Beliau untuk duduk di kursi tersebut. Biarkan saya yang duduk di tikar berdesakan dengan yang lain. Lagi pula saya terbilang masih anak-anak jika dibandingkan dengan mereka semua.
Namun sesuatu yang mengejutkan dan seolah-olah membangunkan hati nurani saya, Pak Kyai tidak mau duduk di kursi tersebut. Beliau tersenyum sambil mengatakan bahwa dirinya ingin duduk di tikar saja biar lebih nyaman. Mendengar ucapan dan melihat sikap Beliau, saya jadi malu sekali karena merasa bersalah. Ternyata Pak Kyai yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat, sampai mau melakukan “seperti itu” kepada saya. Beliau seolah-olah ingin mengajarkan kepada saya tentang sifat tawadhu dan empati.
Beliau tidak silau dengan sanjungan dan penghormatan, meskipun ilmunya tinggi dan akhlaknya sangat mulia. Beliau juga mampu membaca dan memahami perasaan orang lain, sehingga saya merasa diorangkan, walaupun waktu itu usia saya masih terbilang muda. Pada akhirnya kami duduk di tikar atau lesehan. Sedangkan bapak-bapak yang sudah terlanjur duduk di kursi, terlihat merasa rikuh karena sikap yang ditunjukkan oleh Pak Kyai.
Maafkan saya, dan terimakasih atas ilmu dan pengalaman yang telah Pak Kyai tanamkan kepada saya selaku santrinya yang masih harus terus belajar, belajar dan belajar.
Wallohu a’lam

Sabtu, 18 Maret 2017

REALITA KEJUJURAN

Bismillahirrohmanirrohim
Siapa yang tidak tahu bahwa kejujuran merupakan sesuatu yang baik, penting dan sangat mulia. Namun rasanya kadang terlihat aneh oleh beberapa orang. Apalagi orang-orang yang berada di zaman seperti sekarang ini. Persaingan hidup yang sangat ketat dan tajam, serta tensi kehidupan yang sangat tinggi. Kehidupan saat ini “seolah-olah mendukung” untuk berperilaku tidak jujur. Sehingga tidak heran jika kejujuran ibarat “orang asing” yang jarang orang mengenalnya.
Sekarang orang jujur juga laksana “permata dalam kubangan lumpur.” Ia ada, dan sangat berharga. Namun seolah tak tampak karena jumlahnya yang sangat sedikit. Apakah kita termasuk orang yang sedikit itu? Ataukah seperti lumpur yang jumlahnya banyak, tetapi kotor dan tidak berharga? Semua itu tergantung kita. Mau memilih jadi orang yang selamat, beruntung dan berharga, tetapi konsekuensinya harus mau berjuang mempertahankan kejujuran. Atau ingin jadi orang yang celaka, merugi dan tak ada nilainya, karena telah melanggar aturan-aturan-Nya.
Wallohu a’lam

KOIN

Bismillahirrohmaanirrohiim
Ketika masih anak-anak, rasanya senang sekali ketika mendapatkan koin yang berupa uang recehan. Meski jumlahnya tak seberapa, tetapi yang terpenting sudah bisa buat beli jajan. Sekarang, meskipun zaman telah berubah, keberadaan uang recehan tetap masih ada. Ada satu hal yang ingin saya sampaikan untuk bahan renungan kita bersama.
Setiap koin memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dua sisi tersebut ibarat satu paket yang tak bisa kita ambil salah satunya. Jika kita memaksakan diri untuk mengambil satu bagian saja, maka satu bagian yang lainya secara otomatis akan ikut terbawa. Apabila kita mau mencermati hal ini, ada sesuatu yang bisa dianalogikan dengan koin. Koin yang pertama adalah “koin kebaikan”, sedangkan koin yang kedua adalah “koin keburukan”.
Koin kebaikan memiliki dua sisi. Sisi yang satu berisi tentang sesuatu yang tidak mengenakan. Sedangkan sisi yang satunya lagi adalah kebahagiaan hakiki. Sesuatu yang tidak mengenakan itu berupa perjuangan dan pengorbanan. Kemudian kebahagiaan hakiki adalah konsekuensi karena seseorang telah melakukan perjuangan dan pengorbanan. Wujudnya bisa  berupa ketenangan batin, kedamaian hidup, merasa cukup dan tercukupinya segala kebutuhan hidup, mendapat keselamatan dunia akhirat, serta mendapatkan rido dari-Nya.
Selanjutnya, koin keburukan juga mempunyai dua sisi. Sisi yang pertama berupa kesenangan sesasat dan menipu, karena seseorang telah memperturutkan hawa nafsunya. Sedangkan  sisi yang kedua adalah bisa berupa penyesalan yang mendalam, batin yang tidak merasakan ketenangan, dijauhkan dari keberuntungan dan keberkahan hidup. Kemudian yang paling mengerikannya lagi adalah celaka berkepanjangan di dunia dan di akhirat serta tidak mendapatkan rido dari Allah tuhan semesta alam.
Setelah kita mengetahui bahwa perbutan baik dan buruk masing-masing ada konsekuensinya, kemudian kita kembalikan pada diri kita masing-masing. Kita dibekali oleh Allah otak yang mampu menimbang-nimbang dan memilih sesuatu yang lebih menguntungkan untuk kita. Apakah memilih susah sesasat tetapi bahagia berkepanjangan, atau senang sesasat tetapi merugi berkepanjangan? Semoga Allah menguatkan kita, sehingga senantiasa mau memegang teguh komitmen untuk berusaha terus berbuat baik.
Wallohu a’lam

Kamis, 16 Maret 2017

SEMUT HITAM

Bismilahirrohmaanirrohiim
Suatu ketika saya duduk bersama seorang bapak-bapak setelah kami melaksanakan Shalat Duhur berjamaah. Kami berbicara "ngalor ngidul" (tidak ada tema yang jelas). Tetapi pembicaraan kami bukan berbicara tentang kejelekan orang lain atau pembicaraan yang menimbulkan dosa. Kami hanya bertukar pengalaman untuk menambah wawasan dan keakraban saya dengan beliau.
Ada satu kalimat yang beliau sampaikan kepada saya, yang sampai saat ini masih teringat betul kata-kata tersebut. Beliau mengatakan, “Bagai semut hitam yang berjalan di atas batu hitam pada malam hari.” Coba kita cermati dan bayangkan sejenak ungkapan tersebut. Menurut kalian, apa sebanarnya yang sedang beliau gambarkan melalui perumpamaan semut hitam tersebut? Apakah beliau sedang mendongeng, menceritakan kehidupan binatang atau menceritakan tentang manusia?
Saudaraku, saat ini kita hidup di zaman yang sangat luar biasa. Hiruk pikuk kehidupan sering kali membuat hati dan otak kita tidak bisa merasa dan berfikir dengan jernih. Contohnya adalah ketika berbuat dosa sering kali kita tidak merasakannya bahwa kita telah melakukan perbuatan yang melanggar aturan Allah. Jangankan dosa-dosa kecil, dosa-dosa besar saja ada beberapa orang yang tidak bisa merasakannya.
Seorang anak yang sudah baligh berani membentak kedua orang tuanya, seorang pasien yang menganggap bahwa dokterlah yang memberinya kesembuhan, seorang karyawan atau pegawai yang menganggap atasanlah yang memberikan dia rizki, dan sebagainya. Bukankah itu beberapa dosa yang bukan kelas "teri" lagi. Durhaka kepada ibu bapak jelas dosa besar. Menganggap makhluk bisa menyembuhkan atau memberi rizki juga merupakan perbuatan dosa. Karena hakikatnya hanya Allah sajalah yang mampu menyembukan dan memberi rizki. Dokter, atasan, atau siapa saja yang kita sebut sebagai makhluk, mereka hanya sebagai lantaran saja.
Melalui contoh singkat di atas, telah menjelaskan sedikit bahwa “dosa” lah yang diibaratkan seperti “semut hitam”. Sedangkan kondisi zaman sekaranglah yang diibaratkan dengan “batu hitam dan malam hari”, karena telah mengkaburkan mata hati kita untuk melihat dan menyadari bahwa itu adalah dosa. Semoga Allah selalu menjadikan mata hati kita tetap bisa melihat terhadap sesuatu yang harus kita lihat.
Wallohu ‘alam

Minggu, 12 Maret 2017

BUDAYA MALU

Bismillahirrohmanirrohim.
Dahulu negeri Indonesia tercinta ini terkenal dengan masyarakatnya yang santun dan saling menghormati satu sama lain. Seiring berjalannya waktu dan bergulirnya zaman, tampaknya sikap luhur tersebut mulai luntur. Begitu juga dengan sikap malu ketika berbuat buruk. Banyak kita temui dari kelas bawah sampai kelas atas, mereka seakan-akan tidak merasakan apa-apa padahal mereka telah melakukan suatu perbuatan yang tidak baik. Bahkan yang mengerikannya lagi, mereka dengan terang-terangan melakukan perbuatan buruk tersebut. Kadang saya pribadi berfikir, “Kok bisa ya manusia seperti itu? Bukankah setiap manusia telah dibekali rasa malu oleh Allah”.
Jika kita mau merenungkannya lebih dalam, sebanarnya manusia telah dimodali oleh Allah dengan sesuatu yang sangat luar biasa, diantaranya adalah rasa malu. Namun banyak dari kita yang kurang menyadarinya. Sehingga seolah-olah kita selalu mengizinkan “kondisi zaman saat ini” untuk “menghapus rasa malu” yang ada dalam diri manusia.
Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya ada orang yang mengatakan dengan bangganya bahwa dirinya telah melakukan ini itu, padahal yang ia lakukan adalah sesuatu yang tidak baik. Atau ada juga anak sekolah yang dengan santainya mencontek sana sini ketika ulangan berlangsung, padahal sudah diperingatkan dan diawasi oleh gurunya, dan sebagainya.
Sikap malu, memang dibagi menjadi dua. Malu jika berbuat buruk dan malu jika berbuat baik. Malu ketika berbuat buruk harus senantiasa kita pupuk dan kita jaga dalam diri kita. Sedangkan malu ketika berbuat baik, seharusnya sedikit demi sedikit kita kurangi. Karena berbuat baik adalah tugas kita sebagai hamba Allah dan juga sebagai khalifah di muka bumi. Semoga kita semua diberi hidayah dan kekuatan sehingga kita mampu berbuat sesuai dengan rido-Nya. Aamiin.
Wallohu a’lam.