Minggu, 19 Maret 2017

DIUNDANG TETANGGA

Bismillahirrohmaanirrohiim
Rumah tempat tinggal orang tua saya ada di desa. Suatu ketika tetangga ada yang sedang mempunyai hajat. Semua bapak-bapak atau kepala keluarga yang ada dilingkungan sekitar diundang semua untuk berdoa bersama. Dengan harapan apa yang dihajatkan bisa terlaksana dengan lancar dan selamat tidak ada halangan apapun. Pada saat itu keadaan ayah saya tidak begitu sehat, sehingga menyuruh saya untuk menggantikannya. Saya pun bersedia dan saya berangkat bersama bapak-bapak yang lain ba’da shalat isa.
Ketika di perjalanan, kami bertemu Pak Kyai, dan bersalaman termasuk saya. Saya juga mencium tangan Beliau seperti yang biasa santri lakukan kepada kyainya. Kami berjalan bersama sambil ngobrol ringan. Sesampainya disana, saya bersama rombongan dan Pak Kyai, menyalami orang-orang yang sudah duduk menanti kami. Ada beberapa kursi dan tikar yang sudah disiapkan tuan rumah untuk tamunya. Setelah kami selesai bersalaman, ternyata masih tersisa satu kursi kosong. Sedangkan yang belum duduk Beliau (Pak Kyai) dan saya. Tuan rumah dan bapak-bapak yang sudah hadir mempersilahkan Pak Kyai untuk “lenggah” (duduk) di kursi yang tinggal satu tersebut. Tiba-tiba Beliau melihat saya, karena saya juga belum dapat tempat duduk. Saya dengan segera juga ikut mempersilahkan Beliau untuk duduk di kursi tersebut. Biarkan saya yang duduk di tikar berdesakan dengan yang lain. Lagi pula saya terbilang masih anak-anak jika dibandingkan dengan mereka semua.
Namun sesuatu yang mengejutkan dan seolah-olah membangunkan hati nurani saya, Pak Kyai tidak mau duduk di kursi tersebut. Beliau tersenyum sambil mengatakan bahwa dirinya ingin duduk di tikar saja biar lebih nyaman. Mendengar ucapan dan melihat sikap Beliau, saya jadi malu sekali karena merasa bersalah. Ternyata Pak Kyai yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat, sampai mau melakukan “seperti itu” kepada saya. Beliau seolah-olah ingin mengajarkan kepada saya tentang sifat tawadhu dan empati.
Beliau tidak silau dengan sanjungan dan penghormatan, meskipun ilmunya tinggi dan akhlaknya sangat mulia. Beliau juga mampu membaca dan memahami perasaan orang lain, sehingga saya merasa diorangkan, walaupun waktu itu usia saya masih terbilang muda. Pada akhirnya kami duduk di tikar atau lesehan. Sedangkan bapak-bapak yang sudah terlanjur duduk di kursi, terlihat merasa rikuh karena sikap yang ditunjukkan oleh Pak Kyai.
Maafkan saya, dan terimakasih atas ilmu dan pengalaman yang telah Pak Kyai tanamkan kepada saya selaku santrinya yang masih harus terus belajar, belajar dan belajar.
Wallohu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar