Senin, 18 Desember 2017

JANGAN SAMAKAN AKU



Bismillahirrohmaanirrohiim,

Manusia dengan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya sering kali lupa bahwa dia adalah “manusia”. Semakin tinggi derajat manusia dihadapan makhluk, kadang tak sejalan dengan semakin tingginya keyakinan bahwa dirinya adalah manusia. Sebagian pembaca mungkin bertanya, “Memangnya seberapa pentingkah manusia itu mengakui bahwa dirinya manusia, bukankah seandainya tidak diakuipun, manusia tetaplah manusia!”
Penulis akan menunjukan sebuah contoh sederhana betapa pentingnya sebuah pengakuan terhadap siapa sejatinya diri kita.

Seorang anak yang tidak mengakui bahwa dirinya adalah anak, maka bisa dipastikan perilakunya akan semena-mena terhadap kedua orang tuanya. Sampai kapanpun anak tetaplah anak dihadapan kedua orang tuanya. Setinggi apapun derajat, pangkat, ilmu yang dimiliki, tidak akan pernah bisa menggeser kedudukannya. Bahkan ketika sudah punya keturunanpun, dia tetap sebagai anak bagi orang tuanya.

Begitu juga dengan kita sebagai “manusia”. Ketika kita sering melupakan bahwa kita adalah manusia, maka kita juga akan seenaknya sendiri dalam menjalani kehidupan ini. Seakan dunia ini milik kita, yang bebas kita perlakukan sesuai dengan keinginan dan ego yang tak pernah kering. Mereka juga akan memaksa dunia menjadi surga bagi dirinya.

Betapa kerdilnya otak kita, jika sampai berfikiran seperti itu. Ingin A harus dikabulkan A, ingin B harus dikabulkan B. Tanpa mau bersusah payah dan tanpa mau bersimpuh kepada Allah. Andai dunia bisa bicara, mungkin ia akan berkata, “Jangan samakan aku dengan surga, jangan pula samakan aku dengan neraka”.


Wallohu a’lam

Selasa, 05 Desember 2017

JUMLAH "DUNIA"


Bismillahirrohmaanirrohiim,

Sebagai manusia biasa, kita tidak bisa lepas dari orang lain. Setiap hari bahkan hampir setiap saat kita bertemu dengan sesama. Saling berkomunikasi, saling membantu dan saling membutuhkan. Tanpa dipungkiri pula, kadang juga terjadi perbedaan pendapat, salah paham bahkan sampai terjadi perselisihan. Inilah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Akan tidak manusiawi manakala seseorang selalu menganggap dirinya benar tanpa mau melihat orang lain dengan sebening-beningnya penglihatan.

Apabila kita mau melihat dan menyandingkan diri kita dengan orang lain secara lebih mendalam, maka kita akan menemukan sesuatu yang bisa membuat kita faham bahwa, “dunia ini sebanyak orang yang ada di dunia”.

Kita sering menggembar-gemborkan bahwa masalah kita banyak dan berat, padahal sejatinya tidak ada manusia yang tidak punya masalah. Kemudian kita juga sering merasa bahwa kita telah banyak berjuang dan berkorban untuk kehidupan, padahal setiap manusia juga berjuang dan berkorban untuk memperoleh yang diimpikannya. Lalu untuk apa kita mengeluh, bukankah masalah sudah menjadi sebuah keniscayaan dalam hidup. Kemudian untuk apa kita merasa hebat, bukankah setiap orang juga pejuang bagi hidupnya.

Masing-masing dari kita adalah “pemeran utama dalam dunia kita masing-masing”. Sebagai pemeran utama, mampukah kita berjuang layaknya pahlawan yang selalu kita andalkan, yang selalu berjuang tanpa putus asa, gagah berani, untuk mengalahkan musuh-musuhnya dalam setiap pergulatan kehidupan yang dihadapi. Tanyakan pada diri yang terdalam, berapa kali kita menang dan berapa kali kita kalah dalam menghadapi lika-liku dan persoalan hidup? Kemudian bandingkan lebih sering menang atau kalah? Kemudian pikirkan pula, kalau kita seperti ini terus endingnya nanti kira-kira seperti apa?

Mudah-mudahan kita diberi keteguhan tekad, kekuatan lahir batin, hidayah, serta bimbingan-Nya dalam melakoni setiap episode kehidupan.

Wallohu a’lam


Selasa, 26 September 2017

MANUSIA-MANUSIA PENAKUT


Bismillahirrohmaanirrohim.

Sebelum bicara lebih jauh, penulis ingin mengajukan satu pertanyaan sederhana. Tolong dijawab dalam hati dengan jujur. “Apakah kalian suka jika dibilang seorang penakut?” Kebanyakan dari kita mau diakui atau tidak, akan merasa tidak suka, jengkel, ingin membela diri, bahkan ada yang sampai marah. Hanya sedikit yang mau menerima bahwa dirinya penakut. Kita memang dididik sejak kecil untuk menjadi anak yang berani. Misalkan berani bertanya, berani menyampaikan pendapat, berani tampil di muka umum dan sebagainya. Kita juga diajarkan bahwa ketika seseorang memiliki sikap berani, maka kesuksesan hidup akan mudah ia raih.

Melalui tulisan ini, penulis ingin mengingatkan sesuatu yang mungkin jarang terbesit dalam pikiran kita. Karena sering kali terbius oleh sesuatu yang sifatnya universal atau umum, padahal ada hal-hal khusus yang perlu kita sadari dan pahami juga.

Memiliki sikap pemberani merupakan sesuatu yang baik. Tentunya dalam hal positif dan dengan kapasitas yang proporsional. Apabila keluar dari koridor itu, maka sikap pemberaninya menjadi perbuatan yang tidak baik dan bisa merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.

Suatu ketika penulis mendapatkan sebuah nasihat dari seseorang yang kurang lebih, “Nak, tahukah kamu tanda-tanda orang yang ilmunya bertambah dan berkah? Karena banyak orang belajar, tetapi hanya bertambah ilmunya saja tidak dibarengi dengan keberkahan, sehingga seakan-akan ilmu tersebut tidak atau kurang memberi manfaat untuk dirinya sendiri apalagi untuk orang lain.” Terdiam sejenak, kemudian beliau melanjutkan, “Yaitu ketika orang bertambah ilmunya, diiringi dengan bertambahnya RASA TAKUT kepada Allah.”

Mendengar pernyataan tersebut, seolah-olah “menampar” kita sebagai manusia. Manusia baik disadari atau tidak, setiap hari selalu dididik oleh Allah melalui kehidupan. Tidak pandang bulu, apakah anak-anak, remaja, dewasa, atau bahkan orang tua sekalipun. Begitu pula tidak hanya mereka-mereka yang masih sekolah saja. Bukankah kita diwajibkan menuntut ilmu dari buaian hingga masuk ke liang lahat!

Pertanyaan besarnya adalah, “Apakah setelah ilmu kita bertambah, bertambah pula rasa takut kita kepada Allah? Atau malah justru sebaliknya, setelah ilmunya bertambah, kita menjadi berani meremehkan, melanggar bahkan sampai menentang Nya?” Menurut penulis, ini adalah suatu yang prinsip. Karena manusia diperntahkan untuk menjadi manusia pembelajar sepanjang hayat.

Sikap pemberani tidak selalu baik, begitu pula dengan sikap penakut. Sikap penakut akan baik manakala ia tujukan kepada Dzat Yang Maha Besar, yaitu Allah swt.

Wallohu a’lam

Sabtu, 23 September 2017

KAMU MILIKKU, AKU BUKAN MILIKMU KARENA AKU MILIKNYA

Bismillahirrohmaanirrohiim.

Membaca judul di atas, beberapa pembaca ada yang “terjebak” dalam mindset umum. Terkesan egois, maunya menang sendiri dan tidak adil. Orang yang berprinsip seperti pada judul, mungkin kita terburu-buru mengatakan dan men “judge” orang tersebut adalah orang yang berkarakter buruk.
Sebagai manusia yang mulai tumbuh dewasa, apa lagi yang sudah dewasa, semestinya mau melihat dan memahami lebih mendalam, agar kita tidak salah dalam menilai seseorang atau menilai apa saja. Bukankah manusia itu diciptakan mempunyai dua mata, yang bisa kita analogikan agar manusia itu mau memandang lebih luas dan lebih tajam lagi.

Judul di atas merupakan salah satu prinsip yang Islam ajarkan kepada suami terhadap istrinya. “KAMU MILIKKU”, sebagai istri bukan lagi milik orang tuanya, melainkan telah menjadi milik suaminya. Sehingga surga istri ada pada rido suami. Sebagai suami, bukan berarti boleh bertindak sewenang-wenang. Justru dengan adanya tanggungjawab tersebut, suami harus lebih berhati-hati dalam memperlakukan istrinya. Suami yang baik juga tidak akan mungkin menghalang-halangi istrinya untuk bisa berbuat baik kepada orang tuanya. Justru suami akan menganggap bahwa orang tua istri seperti orang tuanya sendiri yang harus ia hormati dan diperlakukan sebaik-baiknya. Bukankah berkat jasa orang tuanya lah, suami bisa mendapatkan istri yang ia sayangi, ia cintai, dan ia jadikan separuh hati belahan jiwa !

“AKU BUKAN MILIKMU KARENA AKU MILIKNYA”, maksudnya adalah suami bukan milik istri, tetapi masih tetap menjadi milik kedua orang tuanya, khususnya ibu. Sebagai suami, walaupun cintanya sangat besar kepada istri dan anak-anaknya, jangan lupakan bahwa suami tetap menjadi milik ibu dan bapaknya. Surganya masih ada pada rido kedua orang tuanya. Sebagai istri yang baik, dia akan ikhas jika suami membagi sebagian hatinya kepada kedua orang tuanya, dan sebagiannya lagi untuk dirinya. Bukankah dengan membantu suami untuk berbakti kepada orang tuanya, membuat suami senang dan rido terhadap dirinya. Itu artinya, dengan jalan memudahkan suami meraih surganya, maka istri akan ikut mendapatkan surganya.

Pembaca yang semoga dirahmati Allah,
Menjadi suami yang solih, memang bukan perkara mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin terjamah. Begitu pula menjadi istri yang solihah, juga tidaklah gampang, tetapi tidak bermakna mustahil yang hanya ada dalam bayang.
Kuncinya adalah selalu belajar, belajar dan belajar. Diiringi dengan doa yang senantiasa dipanjatkan untuk meraih sakinah, mawaddah warrohmah, dalam bingkai rido Allah.
Wallohu a’lam


~ coretan kado pernikahan buat sahabat ~

Rabu, 13 September 2017

LOGIKA YANG TAK MASUK AKAL


Bismillahirrohmaanirrohiim.

Apabila pembaca memikirkan judul di atas, kira-kira apa yang ada dalam fikiran? Sepintas kita akan bertanya, “Logika itu kan masuk akal, tetapi mengapa di judul ada kata tidak masuk akal? Memangnya ada logika yang tidak masuk akal?” Menurut penulis, kurang lebih pembaca akan berfikir seperti itu. Judul artikel ini terkesan “nyleneh”, tidak akademis, dan mungkin membuat orang bingung. Tetapi bukan itu tujuan dari penulis. Ada hal penting yang perlu disampaikan dan direnungkan bersama.

 Ketika kita ditanya, “Kita bisa hidup di dunia lantaran siapa?” Jawabnya karena adanya Ibu dan Bapak. Ibu telah susah payah mengandung. Bapak berjuang mencari nafkah tanpa kenal lelah. Setelah lahir, orang tua merawat dan menjaga anaknya. Menginjak usia anak-anak, orang tua mendidik dan menyekolahkannya hingga remaja, bahkan ada yang sampai dewasa. Proses dan perjuangan yang dilakukan oleh orang tua tidak sebantar dan tidaklah mudah. Pertanyaan besarnya adalah, “Ketika orang tua menginginkan anaknya menjadi anak yang baik serta bisa hidup sukses dikemudian hari, menurut kalian masuk akalkah permintaan atau harapan orang tua tersebut?” Saya ulangi, “Masuk akalkah permintaan atau harapan orang tua tersebut?”

Menurut penulis, itu permintaan yang sangat masuk akal. Karena telah banyak waktu, tenaga, pikiran, keringat bahkan darah yang telah orang tua curahkan untuk buah hatinya. Jadi sangat wajar orang tua mempunyai keinginan dari anaknya. Namun ada sesuatu yang menurut penulis tidak masuk akal atau sulit dicerna oleh logika kita.

Orang tua telah berkorban banyak hal. Setelah anaknya mulai dewasa, orang tua ingin anaknya bisa mandiri. Ketika anaknya sudah bekerja, ternyata ITU adalah kebahagiaan utamanya, bukan pada uang yang akan ia terima dari anaknya. Kemudian orang tua ingin anaknya bisa berumah tangga. Setelah anaknya sudah punya istri atau suami, ternyata ITU adalah kebahagiaan terbesarnya, bukan pada karena ingin dihormati atau dirawat oleh menantunya. Kemudian orang tua ingin anaknya bisa hidup lebih mapan. Setelah tercapai, ternyata ITU adalah kebahagiaan pokoknya, bukan pada uluran tangan dari anaknya demi menyambung hidup disisa usianya yang semakin renta.

Dari gambaran di atas, menurut penulis itu sesuatu yang sulit dinalar oleh logika atau akal manusia. Inikah sepercik sifat Ilahiyah yang Allah karuniakan kepada Ibu dan Bapak!
Ya Allah, maafkan kami, yang masih sering menyakiti hati kedua orang tua. Izinkan kami untuk bisa berbuat baik kepadanya semaksimal yang kami bisa. Karena kami sadar, “secuwil” pun kami tidak akan mampu membalas kebaikan dan jasa Ibu Bapak. Damaikan hatinya serta ridoilah mereka…. Aamiin


Wallohu a’lam

Minggu, 10 September 2017

CINTA DALAM BINGKAI ILAHI


 Bismillahirrohmaanirrohiim.

Cinta adalah sebuah kata sejuta makna
Tak akan pernah kering menjadi cerita,
wacana, ataupun nostalgia
Banyak definisi yang tak sejalan dengan nurani
Kemana kita kan mencari
Sebuah makna yang hakiki
Jika bukan pada petunjuk Ilahi

Tulisan di atas menjadi pengantar untuk memberi gambaran betapa luasnya pembahasan jika membicarakan tentang cinta.  Jika penulis simpulkan, secara umum cinta itu “menyelamatkan”. Sebagai contoh, Allah mencintai manusia maka Allah memberinya petunjuk dengan menurunkan kitab suci dan rosul Nya dengan tujuan agar manusia bisa meraih keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Orang tua mencintai anaknya, maka mereka berjuang sekuat tenaga untuk memberinya nafkah, membimbing dan mendidiknya. Hal itu dilakukan, tidak lain adalah agar anaknya bisa meraih keselamatan dan kesuksesan di kemudian hari.

Dari contoh sederhana di atas, ada satu hal yang perlu kita pahami. Sering kali sesuatu yang terlihat membuat kita tersiksa, tetapi akhirnya membuat kita bahagia berkepanjangan. Begitu pula sebaliknya, sering pula sesuatu yang awalnya membuat kita bahagia, tapi akhirnya menjadikan kita sengsara berkelanjutan. Oleh karena itu kita harus jeli dalam memandang. Mana cinta dan mana pembawa petaka. Jadi bukan cinta ketika AKHIRNYA membuat kita menyesal dan tersiksa.

Wallohu a’lam

Rabu, 06 September 2017

MELANGIT DAN MEMBUMI


Bismillahirrohmaanirrohiim.

Melangit dan membumi, dua istilah yang oleh sebagian orang sudah akrab di telinganya, namun oleh sebagian yang lain menganggapnya asing. Di tulisan ini penulis akan sedikit menyinggung hal kecil yang mungkin kita lupakan.

Istilah melangit sering dipakai untuk menunjukkan idealisme, cita-cita, harapan, keinginan, atau azam. Hal tersebut merupakan sesuatu yang penting dan harus ada dalam diri manusia. Bahkan semenjak masih sekolah dasar, kita sudah mulai ditanamkan dengan sebuah pepatah, “Gantunglah cita-citamu setinggi langit”. Maksudnya adalah dengan cita-cita yang melangit diharapkan orang tersebut memiliki daya juang tinggi untuk bisa menggapainya. Namun perlu diingat baik-baik, banyak orang yang cita-citanya melangit tetapi dia tidak “membumi”. Akibatnya, dia seolah-olah terjerat dan terbelenggu oleh keinginannya sendiri.

Istilah membumi biasa digunakan untuk menyampaikan sebuah aktifitas konkret sebagai perwujudan dari sikap memahami realita atau kenyataan yang ada. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita hidup di kehidupan nyata. Yang mana sering kali antara teori dan kenyataan itu berbeda. Kemudian yang jadi persoalan selanjutnya, banyak orang yang bercita-cita tinggi atau memiliki idealisme yang luar biasa, tetapi dia sendiri tidak mau mempraktikannya atau tidak mau melihat dan menerima kenyataan yang ada. Dia ingin seperti yang diimpikan, tetapi enggan untuk bergerak. Dia seakan tak sadar bahwa dirinya adalah manusia biasa, yang perlu berjuang setahap demi setahap untuk meraih yang diinginkannya.

Cita-cita yang melangit dan aktifitas yang membumi, hendaknya tidak ada kepincangan diantara keduanya. Sehingga mampu menjadi manusia yang berpandangan jauh ke depan, tapi tetap mau berpijak.

Wallohu a’lam

Selasa, 05 September 2017

BERMENTAL KALAH ENGGAN MENGALAH


Bismillahirrohmaanirrohiim.

Judul artikel ini terasa agak aneh, namun ini fenomena yang sering penulis temui dalam realita kehidupan. Sebagai contoh, saat melihat pertandingan sepak bola, sering kita temui pemain yang protes berlebihan, bahkan sampai memarahi wasit. Akibatnya hanya akan merugikan dirnya atau timnya sendiri. Tetapi (mohon maaf), jika melihat pertandingan sepak bola kelas dunia, walaupun sikap wasit seakan berat sebelah, namun mereka seolah-olah tetap menerimanya. Mereka menyiasati dengan cara berusaha bermain lebih baik lagi, lebih hati-hati dan meminimalisir kesalahan-kesalahan.
            
Dari contoh di atas, mari kita merefleksi diri dengan cara merenung sejenak, betapa banyak sikap-sikap yang tidak perlu kita lakukan, tetapi malah kita melaksanakannya, hanya gara-gara mengedepankan ego dan emosi. Sehingga penyesalan dan kerugian yang kita dapatkan. Bermental kalah dan mengalah adalah dua hal yang mempunyai makna dan nilai yang berbeda. Orang yang bermental kalah cenderung mudah putus asa, dan atau mudah termakan emosi tanpa mau berfikir panjang. Mereka sering kali lupa bahwa perilaku negatifnya ibarat menyulut api dalam tumpukan jerami.
           
Berbeda dengan sikap mengalah. Mengalah bukan berarti pasif atau pasrah tanpa melakukan usaha. Mengalah merupakan salah satu sikap seseorang yang memiliki jiwa besar. Mereka menerima kenyataan, namun tetap melakukan sesuatu yang lebih memberikan kemasalahatan untuk dirinya dan orang lain. Ibarat menangkap ikan, mereka mampu mengambil ikan-ikan itu tanpa membuat airnya keruh. Dalam masyarakat, menurut penulis tidak salah ketika ada ungkapan, “mengalah demi kemenangan” atau “mengalah untuk menang” atau “mengalah berarti menang”, jika kita mampu memaknainya dengan benar. Semoga jiwa kita selalu terdidik dan terdewasakan, sehingga mampu melihat dengan jelas apa yang harus kita lakukan.


Wallohu a’lam

Senin, 04 September 2017

JEDA TAK MESTI BERHENTI

Bismillahirrohmanirrohim,
            Hari Ahad, tepatnya tanggal 3 September 2017, tanpa sengaja saya melihat sebuah acara di televisi “Catatan Tanpa Titik”. Diacara tersebut, ada sosok perempuan yang menurut saya sangat luar biasa, dia bernama Najwa Syihab. Siapa sih yang tidak kenal dengan sosok beliau. Dalam wawancaranya dia mengatakan yang kurang lebih, “Berhenti bukan berarti tidak berkarya, dalam kehidupan ada fase dimana seseorang perlu berhenti sejenak untuk bisa lebih memahami dan bisa berkarya lebih baik lagi”.
            Dari pernyataan di atas, jika saya renungkan maknanya itu mengisyaratkan bahwa berjuang dan berkarya itu adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh manusia, dalam keadaan atau kondisi apapun. Bahkan dalam kata “berhenti” saja, perjuangan harus tetap berjalan. Dalam Islam, umat muslim diperintahkan untuk beribadah dalam artian yang luas. Semua aktifitas positif yang dilakukan oleh manusia jika diniatkan untuk mengabdi kepada Allah, maka akan bernilai ibadah.
            Kemudian, makna kedua yang menggugah saya adalah jangan terlena dengan sebuah “jeda”. Jika terlena, maka jeda itu bisa menjadi “titik” dalam kehidupan seseorang. Sekali lagi saya ulangi, “Jangan terlena dengan sebuah jeda, jika tidak ingin menjadi titik”. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang selalu mendapat bimbingan Allah, sehingga mampu memanfaatkan kesempatan hidup di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Aamiin
Wallohu a’lam

Selasa, 28 Maret 2017

BUTA BUKU

Bismillahirrohmaanirrohiim
Apabila kita ditanya, “Berapa jumlah buku yang telah selesai dibaca dalam satu tahun ini?” Kira-kira berapa yang akan kita jawab. Atau kita hanya diam karena malu untuk menyampaikannya. Mungkin satu tahun terlalu singkat untuk kita, maka saya ganti pertanyaannya, “Selama kita hidup di dunia ini, berapa buku yang telah kita khatamkan?” Silahkan jawab dalam hati kita masing-masing.
Suatu ketika saya membaca di salah satu media masa nasional, disana disebutkan bahwa kita masih banyak yang “buta buku”. Awalnya saya merasa aneh dengan istilah tersebut, karena baru pertama kalinya mendengar peristilahan itu. Setelah saya baca dan amati secara keseluruhan kurang lebih maksud dari buta buku adalah minimnya semangat seseorang untuk membaca, sehingga jika ditanya seperti pertanyaan di atas, dia akan bingung menjawabnya. Bukan karena saking banyaknya, tetapi karena saking sedikitnya buku yang telah ia baca.
Di masyarakat kita masih ada yang beranggapan bahwa orang yang mau bersahabat dengan buku dianggap orang yang “sok”. Sok rajin, sok pintar, sok baik, sok cari perhatian dan sebagainya. Sangat miris sebanarnya jika seseorang masih beranggapan seperti itu. Bukankah dengan cara membaca buku, wawasan kita menjadi bertambah luas, ilmu dan pemahaman kita semakin dalam, serta mampu mendorong seseorang untuk bersikap bijak dalam menapaki kehidupan nyata ini.
Membaca buku memang bukan satu-satunya agar seseorang berwawasan luas. Banyak cara, apalagi diera digital saat ini yang memungkinkan seseorang bisa mendapatkan ilmu dan informasi secara mudah dan sangat cepat. Namun keberadaan buku tetap menjadi sesuatu yang penting dan harus ada.
Menjadi seseorang yang semangat dan rajin membaca buku, nampaknya perlu dilatih dan diperjuangkan. Siapa tahu lantaran kita membaca buku, Allah menghendaki hati dan pikiran kita terbuka untuk menerima kebenaran. Kemudian satu hal lagi sebagai penutup tulisan ini, seandainya kita sudah punya semangat untuk membaca, tolong jangan “tinggalkan” guru-guru kita. Jangan kita gantikan posisi guru kita dengan buku-buku yang telah kita baca ataupun yang telah kita miliki, atau bahkan yang telah kita kuasai sekalipun. Karena ada bimbingan, doa dan juga rido dari seorang guru, yang peranannya sangat penting untuk meraih keselamatan dunia hingga akhirat.
Wallohu a’lam

Rabu, 22 Maret 2017

MENULIS

Bismillahirrohmaanirrohiim
Kegiatan menulis saat ini bukan sesuatu yang aneh lagi. Apalagi bagi anak-anak atau remaja yang masih sekolah. Mereka dalam kesehariannya “tiada hari tanpa menulis”, baik diperintah gurunya untuk mencatat atau inisiatif sendiri mencatat hal-hal penting ketika dalam pembelajaran. Rutinitas positif tersebut menurut saya perlu sekali untuk dikembangkan dan dibudayakan.
Manfaat menulis yang paling mendasar adalah untuk mengingatkan kita terhadap suatu ilmu atau informasi yang dianggap penting. Sehingga sewaktu-waktu apabila lupa bisa dibuka kembali catatannya. Selain digunakan untuk mencatat ilmu atau informasi tertentu, di tahap yang lebih tinggi, menulis juga dapat digunakan sebagai media untuk “menggambar” ide, gagasan ataupun pengalaman yang telah kita alami. Jadi menulis dalam tahap ini, bisa digunakan oleh pembaca untuk menilai seberapa tinggikah nilai kesopanan, kesantunan, kesistematisan dan kelogisan tulisan, wawasan dan pandangan hidupnya, serta seberapa dalam makna yang terkandung dalam tulisan tersebut.
Setelah membaca uraian pendek di atas, oleh beberapa orang mungkin merasa takut. Karena jika dia menulis, maka orang lain bisa mengetahui seberapa tinggi kemampuan dirinya. Perlu digaris bawahi bahwa tujuan tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti pembaca sekalian, tetapi justru untuk memotivasi diri penulis sendiri dan pembaca semua bahwa menulis merupakan sesuatu yang sangat penting.
Kita tidak perlu terlalu memikirkan penilaian orang lain kepada kita, karena setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Yang terpenting adalah kita selalu berusaha memperbaiki diri dan memberikan yang terbaik kepada orang lain, termasuk dalam hal menulis. Seandainya tulisan kita belum bisa meninggalkan bekas apa-apa dalam hati dan pikiran orang lain, maka tidaklah menjadi masalah. Setidaknya kita telah belajar hal besar bahwa, untuk menyampaikan sesuatu butuh melalui proses berfikir terlebih dahulu. Agar yang kita sampaikan bisa diterima dan dipahami orang lain. Dan yang paling penting lagi adalah agar yang kita sampaikan tidak melukai dan menyakiti hati orang lain.
Kita sering kali berbicara tanpa memikirkan dampak dari kata atau ucapan yang keluar dari mulit kita. Bukankah tersakiti karena ucapan lebih menyakitkan dari pada terluka karena goresan..! Dan bukankah luka karena ucapan lebih lama sembuhnya, ketimbang luka karena sayatan..!
Wallohu a’lam

TERSENYUMLAH

Bismillahirrohmaanirrohim.

“Hidup bukanlah sesuatu yang mudah untuk kita jalani
Karena banyak orang gagal dalam menjalani kehidupan ini.
Akan tetapi, hidup juga bukan hal yang sangat sulit,
Karena ada pertolongan dan kasih sayang-Nya yang selalu berkait
Senyum adalah hal kecil yang mampu merubah hal besar
Senyum merupakan cermin dari keikhlasan hati, dan kelembutan nurani.
Dengan senyuman kita bisa merasakan manisnya "pahit dunia".
Dengan senyuman pula, kita bisa belajar mensyukuri nikmatNya.
Senyum pulalah yang mengantarkan pada kasih sayang
Dari makhluk dan Sang Khaliq.
Rasanya tak ada kesusahan, tak ada beban, dan tak ada kesedihan
jika hati kita benar-benar  ikut tersenyum bersama wajah manis kita.
Tak ada yang menjadi buruk karenanya.
Andaikata wajah ini tak seelok senja,
Dengan senyum akan terlihat bagai sinar purnama.
Berusahalah,,,agar kita selalu bahagia dalam meniti perjuangan hidup ini,
Demi mendapatkan kasih dan rido Sang Ilahi.”
[Catatanku 5 Maret 2012]

Wallohu a’lam

Senin, 20 Maret 2017

BELAJAR

Bismillahirrohmaanirrohiim
Aktifitas belajar merupakan perbuatan yang sangat mulia. Dengan belajar manusia bisa menjadi tahu, paham, bisa, terampil dan juga ahli. Alhamdulillah di negeri tercinta ini perhatian permerintah terhadap pendidikan sudah cukup besar, sehingga sudah banyak sekolah khususnya tingkat SD dan SMP yang tidak lagi meminta bantuan sumbangan dari siswanya.
Selain perhatian dari pemerintah, Allah juga sangat mengharuskan bagi hamba-Nya terlebih yang muslim untuk senantiasa  menuntut ilmu. Kalau dalam kajian keislaman, hukum menuntut ilmu atau belajar adalah wajib. Jadi ketika seseorang meninggalkannya maka ia telah berdosa. Allah memberikan dosa bagi yang tidak mau belajar bukan karena Allah kejam, tetapi justru karena Allah sangat mencintai dan menyayangi kita semua. Begitu pula sebaliknya, jika seseorang mau menuntut ilmu dan dilakukan karena Allah, maka Allah akan memberikan banyak pahala dan keutamaan untuk mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, selaku orang dewasa sering kali menyuruh dan menasehati anaknya, adiknya atau siswanya untuk selalu belajar. Tidak hanya itu, mereka juga menunjukkan berbagai manfaat jika seseorang rajin belajar, agar si anak yakin dan bersemangat dalam belajar. Bahkan ada yang siap memberinya hadiah sebagai motivasi anak. Dari contoh di atas tampak jelas bahwa pemahaman akan pentingnya belajar sudah cukup baik.
Namun apabila kita amati lebih dalam, sepertinya ada satu hal penting yang mungkin terlupakan oleh mereka yang sudah dewasa, khususnya orang-orang yang tidak sekolah lagi. Mereka banyak yang lupa bahwa dirinya juga “masih berkewajiban untuk belajar”. Bukankah kita diwajibkan untuk menuntut ilmu sejak dalam buaian sampai masuk liang lahat..? Bukankah itu artinya, selama manusia masih bernafas dan selama jantung masih berdetak, maka kewajiban itu masih tetap melekat dalam dirinya.
Saat ini, izinkan kami bertanya, “Sudahkah kita (selaku Bapak, Ibu, Kakak, Bapak Ibu Guru dan siapa saja yang merasa dewasa) sudah belajar, sebelum kita mengajak dan menasihati orang-orang yang kita sayangi?”
Dari tulisan singkat ini, semoga mampu mengingatkan kita semua untuk menjadi manusia-manusia yang senantiasa mau belajar, sebagai salah satu bentuk pengabdian dan ibadah kita kepada Allah swt. Selain itu, semoga kita juga menjadi orang tua yang bijaksana, yang mau memberikan teladan kepada siapapun, terlebih kepada anak-anak kita. Karena anak-anak lebih mudah menerima sesuatu yang mereka lihat dari pada yang hanya mereka dengar.
Wallohu a’lam

Minggu, 19 Maret 2017

KETERBATASAN

Bismillahirrohmaanirrohiim
Manusia menginginkan hidup bahagia, diberikan kecukupan, bahkan ingin selalu memiliki kelebihan harta, sehingga mampu membeli apapun yang diinginkannya. Segala daya upaya, pikiran dan tenaga banyak tercurahkan untuk meraih yang namanya “keberlimpahan atau kemewahan hidup.”
Jika ditanya, apakah salah jika kita menginginkan dan memperjuangkan itu semua? Jawabannya, tentu tidak salah. Asalkan kita mampu mengendalikan dan menjadikannya sebagai alat untuk berbuat kebaikan dan meraih keridoan Allah. Seandainya seseorang telah meraih pekerjaan yang baik, harta yang banyak, pangkat yang tinggi, dan “seabreg” kemewahan dan kehormatan yang lainnya, perlu sekali rasanya untuk mau belajar dari seseorang yang memiliki “keterbatasan”.
Keterbatasan juga memiliki kemuliaan. Dari orang-orang yang memiliki keterbatasan, kita belajar memaknai rasa syukur, memahami kesederhanaan, pengorbanan dan sikap rendah hati. Selain itu, kita juga diajarkan tentang pentingnya berkasih sayang, tolong menolong dan rasa berempati kepada sesama. Bukankah orang-orang yang sudah “berada”, atau orang-orang yang sudah menjadi “orang”, tidak mungkin bisa mencapai itu semua tanpa bantuan dan perjuangan orang lain! Dan bukankah itu semua juga ada campur tangan Tuhan di dalamnya !
Wallohu a’lam

DIUNDANG TETANGGA

Bismillahirrohmaanirrohiim
Rumah tempat tinggal orang tua saya ada di desa. Suatu ketika tetangga ada yang sedang mempunyai hajat. Semua bapak-bapak atau kepala keluarga yang ada dilingkungan sekitar diundang semua untuk berdoa bersama. Dengan harapan apa yang dihajatkan bisa terlaksana dengan lancar dan selamat tidak ada halangan apapun. Pada saat itu keadaan ayah saya tidak begitu sehat, sehingga menyuruh saya untuk menggantikannya. Saya pun bersedia dan saya berangkat bersama bapak-bapak yang lain ba’da shalat isa.
Ketika di perjalanan, kami bertemu Pak Kyai, dan bersalaman termasuk saya. Saya juga mencium tangan Beliau seperti yang biasa santri lakukan kepada kyainya. Kami berjalan bersama sambil ngobrol ringan. Sesampainya disana, saya bersama rombongan dan Pak Kyai, menyalami orang-orang yang sudah duduk menanti kami. Ada beberapa kursi dan tikar yang sudah disiapkan tuan rumah untuk tamunya. Setelah kami selesai bersalaman, ternyata masih tersisa satu kursi kosong. Sedangkan yang belum duduk Beliau (Pak Kyai) dan saya. Tuan rumah dan bapak-bapak yang sudah hadir mempersilahkan Pak Kyai untuk “lenggah” (duduk) di kursi yang tinggal satu tersebut. Tiba-tiba Beliau melihat saya, karena saya juga belum dapat tempat duduk. Saya dengan segera juga ikut mempersilahkan Beliau untuk duduk di kursi tersebut. Biarkan saya yang duduk di tikar berdesakan dengan yang lain. Lagi pula saya terbilang masih anak-anak jika dibandingkan dengan mereka semua.
Namun sesuatu yang mengejutkan dan seolah-olah membangunkan hati nurani saya, Pak Kyai tidak mau duduk di kursi tersebut. Beliau tersenyum sambil mengatakan bahwa dirinya ingin duduk di tikar saja biar lebih nyaman. Mendengar ucapan dan melihat sikap Beliau, saya jadi malu sekali karena merasa bersalah. Ternyata Pak Kyai yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat, sampai mau melakukan “seperti itu” kepada saya. Beliau seolah-olah ingin mengajarkan kepada saya tentang sifat tawadhu dan empati.
Beliau tidak silau dengan sanjungan dan penghormatan, meskipun ilmunya tinggi dan akhlaknya sangat mulia. Beliau juga mampu membaca dan memahami perasaan orang lain, sehingga saya merasa diorangkan, walaupun waktu itu usia saya masih terbilang muda. Pada akhirnya kami duduk di tikar atau lesehan. Sedangkan bapak-bapak yang sudah terlanjur duduk di kursi, terlihat merasa rikuh karena sikap yang ditunjukkan oleh Pak Kyai.
Maafkan saya, dan terimakasih atas ilmu dan pengalaman yang telah Pak Kyai tanamkan kepada saya selaku santrinya yang masih harus terus belajar, belajar dan belajar.
Wallohu a’lam

Sabtu, 18 Maret 2017

REALITA KEJUJURAN

Bismillahirrohmanirrohim
Siapa yang tidak tahu bahwa kejujuran merupakan sesuatu yang baik, penting dan sangat mulia. Namun rasanya kadang terlihat aneh oleh beberapa orang. Apalagi orang-orang yang berada di zaman seperti sekarang ini. Persaingan hidup yang sangat ketat dan tajam, serta tensi kehidupan yang sangat tinggi. Kehidupan saat ini “seolah-olah mendukung” untuk berperilaku tidak jujur. Sehingga tidak heran jika kejujuran ibarat “orang asing” yang jarang orang mengenalnya.
Sekarang orang jujur juga laksana “permata dalam kubangan lumpur.” Ia ada, dan sangat berharga. Namun seolah tak tampak karena jumlahnya yang sangat sedikit. Apakah kita termasuk orang yang sedikit itu? Ataukah seperti lumpur yang jumlahnya banyak, tetapi kotor dan tidak berharga? Semua itu tergantung kita. Mau memilih jadi orang yang selamat, beruntung dan berharga, tetapi konsekuensinya harus mau berjuang mempertahankan kejujuran. Atau ingin jadi orang yang celaka, merugi dan tak ada nilainya, karena telah melanggar aturan-aturan-Nya.
Wallohu a’lam

KOIN

Bismillahirrohmaanirrohiim
Ketika masih anak-anak, rasanya senang sekali ketika mendapatkan koin yang berupa uang recehan. Meski jumlahnya tak seberapa, tetapi yang terpenting sudah bisa buat beli jajan. Sekarang, meskipun zaman telah berubah, keberadaan uang recehan tetap masih ada. Ada satu hal yang ingin saya sampaikan untuk bahan renungan kita bersama.
Setiap koin memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dua sisi tersebut ibarat satu paket yang tak bisa kita ambil salah satunya. Jika kita memaksakan diri untuk mengambil satu bagian saja, maka satu bagian yang lainya secara otomatis akan ikut terbawa. Apabila kita mau mencermati hal ini, ada sesuatu yang bisa dianalogikan dengan koin. Koin yang pertama adalah “koin kebaikan”, sedangkan koin yang kedua adalah “koin keburukan”.
Koin kebaikan memiliki dua sisi. Sisi yang satu berisi tentang sesuatu yang tidak mengenakan. Sedangkan sisi yang satunya lagi adalah kebahagiaan hakiki. Sesuatu yang tidak mengenakan itu berupa perjuangan dan pengorbanan. Kemudian kebahagiaan hakiki adalah konsekuensi karena seseorang telah melakukan perjuangan dan pengorbanan. Wujudnya bisa  berupa ketenangan batin, kedamaian hidup, merasa cukup dan tercukupinya segala kebutuhan hidup, mendapat keselamatan dunia akhirat, serta mendapatkan rido dari-Nya.
Selanjutnya, koin keburukan juga mempunyai dua sisi. Sisi yang pertama berupa kesenangan sesasat dan menipu, karena seseorang telah memperturutkan hawa nafsunya. Sedangkan  sisi yang kedua adalah bisa berupa penyesalan yang mendalam, batin yang tidak merasakan ketenangan, dijauhkan dari keberuntungan dan keberkahan hidup. Kemudian yang paling mengerikannya lagi adalah celaka berkepanjangan di dunia dan di akhirat serta tidak mendapatkan rido dari Allah tuhan semesta alam.
Setelah kita mengetahui bahwa perbutan baik dan buruk masing-masing ada konsekuensinya, kemudian kita kembalikan pada diri kita masing-masing. Kita dibekali oleh Allah otak yang mampu menimbang-nimbang dan memilih sesuatu yang lebih menguntungkan untuk kita. Apakah memilih susah sesasat tetapi bahagia berkepanjangan, atau senang sesasat tetapi merugi berkepanjangan? Semoga Allah menguatkan kita, sehingga senantiasa mau memegang teguh komitmen untuk berusaha terus berbuat baik.
Wallohu a’lam

Kamis, 16 Maret 2017

SEMUT HITAM

Bismilahirrohmaanirrohiim
Suatu ketika saya duduk bersama seorang bapak-bapak setelah kami melaksanakan Shalat Duhur berjamaah. Kami berbicara "ngalor ngidul" (tidak ada tema yang jelas). Tetapi pembicaraan kami bukan berbicara tentang kejelekan orang lain atau pembicaraan yang menimbulkan dosa. Kami hanya bertukar pengalaman untuk menambah wawasan dan keakraban saya dengan beliau.
Ada satu kalimat yang beliau sampaikan kepada saya, yang sampai saat ini masih teringat betul kata-kata tersebut. Beliau mengatakan, “Bagai semut hitam yang berjalan di atas batu hitam pada malam hari.” Coba kita cermati dan bayangkan sejenak ungkapan tersebut. Menurut kalian, apa sebanarnya yang sedang beliau gambarkan melalui perumpamaan semut hitam tersebut? Apakah beliau sedang mendongeng, menceritakan kehidupan binatang atau menceritakan tentang manusia?
Saudaraku, saat ini kita hidup di zaman yang sangat luar biasa. Hiruk pikuk kehidupan sering kali membuat hati dan otak kita tidak bisa merasa dan berfikir dengan jernih. Contohnya adalah ketika berbuat dosa sering kali kita tidak merasakannya bahwa kita telah melakukan perbuatan yang melanggar aturan Allah. Jangankan dosa-dosa kecil, dosa-dosa besar saja ada beberapa orang yang tidak bisa merasakannya.
Seorang anak yang sudah baligh berani membentak kedua orang tuanya, seorang pasien yang menganggap bahwa dokterlah yang memberinya kesembuhan, seorang karyawan atau pegawai yang menganggap atasanlah yang memberikan dia rizki, dan sebagainya. Bukankah itu beberapa dosa yang bukan kelas "teri" lagi. Durhaka kepada ibu bapak jelas dosa besar. Menganggap makhluk bisa menyembuhkan atau memberi rizki juga merupakan perbuatan dosa. Karena hakikatnya hanya Allah sajalah yang mampu menyembukan dan memberi rizki. Dokter, atasan, atau siapa saja yang kita sebut sebagai makhluk, mereka hanya sebagai lantaran saja.
Melalui contoh singkat di atas, telah menjelaskan sedikit bahwa “dosa” lah yang diibaratkan seperti “semut hitam”. Sedangkan kondisi zaman sekaranglah yang diibaratkan dengan “batu hitam dan malam hari”, karena telah mengkaburkan mata hati kita untuk melihat dan menyadari bahwa itu adalah dosa. Semoga Allah selalu menjadikan mata hati kita tetap bisa melihat terhadap sesuatu yang harus kita lihat.
Wallohu ‘alam

Minggu, 12 Maret 2017

BUDAYA MALU

Bismillahirrohmanirrohim.
Dahulu negeri Indonesia tercinta ini terkenal dengan masyarakatnya yang santun dan saling menghormati satu sama lain. Seiring berjalannya waktu dan bergulirnya zaman, tampaknya sikap luhur tersebut mulai luntur. Begitu juga dengan sikap malu ketika berbuat buruk. Banyak kita temui dari kelas bawah sampai kelas atas, mereka seakan-akan tidak merasakan apa-apa padahal mereka telah melakukan suatu perbuatan yang tidak baik. Bahkan yang mengerikannya lagi, mereka dengan terang-terangan melakukan perbuatan buruk tersebut. Kadang saya pribadi berfikir, “Kok bisa ya manusia seperti itu? Bukankah setiap manusia telah dibekali rasa malu oleh Allah”.
Jika kita mau merenungkannya lebih dalam, sebanarnya manusia telah dimodali oleh Allah dengan sesuatu yang sangat luar biasa, diantaranya adalah rasa malu. Namun banyak dari kita yang kurang menyadarinya. Sehingga seolah-olah kita selalu mengizinkan “kondisi zaman saat ini” untuk “menghapus rasa malu” yang ada dalam diri manusia.
Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya ada orang yang mengatakan dengan bangganya bahwa dirinya telah melakukan ini itu, padahal yang ia lakukan adalah sesuatu yang tidak baik. Atau ada juga anak sekolah yang dengan santainya mencontek sana sini ketika ulangan berlangsung, padahal sudah diperingatkan dan diawasi oleh gurunya, dan sebagainya.
Sikap malu, memang dibagi menjadi dua. Malu jika berbuat buruk dan malu jika berbuat baik. Malu ketika berbuat buruk harus senantiasa kita pupuk dan kita jaga dalam diri kita. Sedangkan malu ketika berbuat baik, seharusnya sedikit demi sedikit kita kurangi. Karena berbuat baik adalah tugas kita sebagai hamba Allah dan juga sebagai khalifah di muka bumi. Semoga kita semua diberi hidayah dan kekuatan sehingga kita mampu berbuat sesuai dengan rido-Nya. Aamiin.
Wallohu a’lam.

Minggu, 26 Februari 2017

ILMU PADI

Bismillahirrohmanirrohim.
Manusia diperintahkan untuk selalu belajar. Tidak hanya bagi mereka yang masih kecil tetapi siapapun yang masih mampu untuk bernafas, maka ia tetap diperintahkan untuk belajar semampu yang mereka bisa. Manusia dibekali oleh Allah hati dan pikiran sehingga ia mampu mengambil pelajaran dari ayat-ayat kauniahnya Allah yang terbentang sangat luas di alam semesta ini.
Orang tua ataupun guru kita tentunya pernah mengatakan, “Nak, jadilah seperti padi yang semakin ia berisi semakin merunduk.” Perumpamaan yang sangat terkenal ini mengajarkan kepada kita untuk bersikap rendah hati, terlebih bagi mereka yang sudah pintar, kaya ataupun memiliki kedudukan yang tinggi. Anak-anak tingkatan sekolah dasarpun sudah banyak yang mengetahuinya. Bagi kita yang sudah remaja, dewasa atau bahkan sudah menjadi orang yang dituakan, mestinya pemahaman dan penerapannya lebih bagus lagi jika dibanding dengan  mereka yang masih anak-anak. Bukankah kita sudah lebih lama hidup, sehingga lebih banyak merasakan manis, pahit dan getirnya kehidupan.
Jika melihat realita saat ini, banyak fenomena yang cukup memprihatinkan. Diantaranya: orang yang pintar, orang yang kaya, atau yang punya kedudukan atau orang yang punya kehormatan dalam pandangan masyarakat, mereka terkadang lupa bahwa dia itu adalah “manusia”. Sehebat apapun manusia, pasti mempunyai kekurangan atau pernah melakukan suatu kesalahan. Mereka melupakan siapa dirinya, disebabkan karena terbius dengan “tepuk tangan” dan pujian dari orang lain, sehingga tanpa disadari dia “menepuk dadanya sendiri.”
Bukankah kita pernah diajari oleh ilmu tanaman padi, untuk senantiasa bersikap rendah hati? Perlu kita pahami, bahwa rendah hati bukan sesuatu yang miskin akan makna. Siap menerima kritikan, masukan ataupun teguran juga termasuk bagian darinya. Meskipun itu semua datangnya dari anak kecil sekalipun. Jika itu baik, maka ambillah dan berterimakasihlah kepadanya. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama untuk belajar menjadi manusia yang senantiasa “berpijak pada bumi.” Belajar untuk tidak sombong, tidak egois, siap menerima nasihat bahkan kritikan, dan tidak terhanyut dalam pujian orang lain.
Wallohu a’lam.